Skip ke Konten

Seks, Kuasa, dan Agama

Membaca Relasi Dominasi Tokoh Agama Cabul
23 April 2025 oleh
Seks, Kuasa, dan Agama
Muhammad Haramain
| Belum ada komentar

Di dalam tubuh komunitas keagamaan yang tampaknya suci, tidak jarang tersembunyi racun kuasa yang menjelma menjadi kekerasan—termasuk kekerasan seksual.

Saya menonton Bidaah, serial TV Malaysia yang dirilis awal 2024. Film ini bukan sekadar cerita tentang doktrin menyimpang dan stigma sosial, tetapi sebuah tamparan sunyi tentang bagaimana agama bisa dijadikan alat manipulasi. Dalam film itu, seorang perempuan disucikan bukan dengan zikir, tetapi dengan luka. Tubuhnya dianggap kotor, tapi malah dijadikan objek ritual ‘penyucian’ oleh tokoh spiritual yang diagungkan.

Adegan demi adegan membuat saya teringat pada realitas yang lebih nyata—pengakuan para korban ‘Walid’, seorang guru spiritual yang mengklaim bisa membawa pengikutnya menuju kesucian melalui ‘suluk batiniah’. Nyatanya, pencerahan itu hanyalah kedok dari kekerasan seksual yang berulang. Korban percaya bahwa rasa sakit adalah bagian dari spiritualitas. Ini bukan suluk, tapi subjugasi.

Sayangnya, kisah semacam ini bukan sekedar fiksi. Dalam lima tahun terakhir, Indonesia diguncang oleh berbagai kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh tokoh agama, menggunakan simbol dan bahasa keagamaan sebagai tameng.

Pada 2021, publik digemparkan oleh Herry Wirawan, seorang pemilik pesantren di Bandung yang memperkosa 13 santriwati dan mengakibatkan beberapa di antaranya hamil. Herry divonis mati, tapi tragedi yang ia sebabkan tak bisa dihapuskan begitu saja.

Lalu pada 2023, dua pimpinan pondok pesantren di NTB—berinisial HSN dan LMI—didakwa memperkosa 41 santriwati dengan modus menjanjikan surga dan menjadikan ‘hubungan batin’ sebagai bagian dari pengajian. Dan yang terbaru, awal 2025, seorang tokoh ponpes di Lombok Tengah (EQH) dilaporkan menyetubuhi santriwati di bawah ancaman dan kedok pengabdian.

Setiap kali kasus ini muncul, ada polanya: pelaku adalah figur religius, korban adalah santri atau pengikut yang tunduk secara spiritual, dan komunitas sekitarnya lebih memilih diam atau justru membela pelaku demi nama baik agama.

Membaca dengan Foucault: Kuasa, Tubuh, dan Tunduk

Filsuf Michel Foucault dalam bukunya Discipline and Punish (1977) memberikan lensa tajam untuk memahami fenomena ini. Ia menulis:

‘Power is not something that is acquired, seized, or shared, something one holds on to or allows to slip away... Power is exercised from innumerable points, in the interplay of non-egalitarian and mobile relations.’

Foucault dalam kutipan ini mengajak kita untuk melihat ‘kuasa’ bukan sebagai sesuatu yang dimiliki, diambil, atau dibagikan oleh satu pihak yang dominan, seperti yang sering kita bayangkan dalam struktur sosial hierarkis. Kuasa, menurutnya, tersebar di berbagai titik dalam setiap relasi sosial, baik itu antara individu, kelompok, maupun institusi. Kuasa bekerja dalam hubungan yang tidak setara—selalu ada yang dominan dan yang terdominasi—dan ia tidak statis, tetapi bergerak, bergeser, dan berubah tergantung pada situasi.

Fenomena ‘walid’ ini menjelaskan mengapa kuasa sering kali tak terlihat, beroperasi dalam cara yang sangat halus namun efektif dalam membentuk perilaku dan norma sosial. Dalam konteks keagamaan, kuasa ini bisa saja tidak hanya berada pada tokoh agama atau pemimpin spiritual, tetapi juga tersembunyi dalam hubungan antara pengikut dan pemimpin, serta dalam nilai-nilai yang dipegang oleh komunitas. Begitulah kuasa bekerja, dengan cara yang begitu dekat, namun sering tak kita sadari.

Kuasa dalam komunitas keagamaan tidak hanya datang dari posisi formal (misalnya ‘ustadz’, ‘abi’, ‘guru mursyid’), tetapi dari jaringan relasi sosial yang membuat seorang tokoh dianggap ‘wakil Tuhan’. Dalam situasi itu, murid atau jamaah tak lagi sekadar mengikuti, tapi rela menyerahkan tubuh, pikiran, dan bahkan nalar.

Foucault menyebut bahwa kuasa tidak sekadar menindas, tapi membentuk subjek—dan dalam banyak komunitas spiritual, subjek dibentuk untuk taat, bahkan saat tubuh mereka disakiti. Inilah wajah gelap spiritualitas yang lepas dari etika: ketika kekuasaan yang seharusnya membimbing justru menjadikan orang lain sebagai objek dominasi.

Beragama dengan Kritis dan Etis

Dalam Islam, ketaatan memiliki batas, dan batasnya adalah akhlak. Tidak ada ketaatan dalam maksiat (laa thaa'ata limakhluqin fi ma'shiyatil khaaliq). Sayangnya, banyak korban dalam kasus-kasus ini tidak tahu di mana batas antara taat dan tunduk, karena tidak pernah diajari membela diri dalam konteks religius.

Sudah saatnya kita mendidik umat untuk membedakan antara ‘tokoh agama’ dan ‘kebenaran agama’. Yang pertama bisa keliru, yang kedua tidak. Masyarakat harus diajari bahwa bertanya, mengkritik, dan menyuarakan kebenaran bukanlah bentuk pembangkangan spiritual—tetapi bagian dari iman yang sehat.

Saya menulis ini bukan untuk kritik institusi agama, tetapi untuk menyelamatkan makna agama dari tangan-tangan yang mencemarinya. Agama tidak lahir untuk menindas, tapi untuk membebaskan. Dan kebebasan itu mencakup hak untuk aman dari kekerasan, termasuk dalam ruang ibadah dan lembaga pendidikan keagamaan.

Jangan lagi kita diam, karena diam dalam ketidakadilan bukanlah netralitas—tetapi keberpihakan pada pelaku. Kita harus menjadi suara bagi mereka yang dibungkam oleh jubah, gelar, dan karisma semu. Karena keimanan yang sehat bukan yang takut bertanya, tapi yang berani berkata benar meski kepada yang diagungkan sekalipun.

Parepare, 23 April 2025

Muhammad Haramain


Bacaan terkait: 

Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.

NTBSatu. (2025). "Oknum Pimpinan Ponpes di Lombok Tengah Diseret ke Polisi".

DetikNews. (2023). "2 Pimpinan Ponpes di NTB Perkosa 41 Santriwati, Modus Janji Surga".

CNN Indonesia. (2024). "Pengakuan Korban Walid: Saya Taat, Tapi Berujung Trauma".

Seks, Kuasa, dan Agama
Muhammad Haramain 23 April 2025
Share post ini
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar