"Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain..." (QS. Al-Hujurat: 12). Ayat ini kerap terdengar di majelis taklim atau khutbah Jumat, tetapi seolah lenyap saat jari mulai menari di atas layar ponsel. Baru-baru ini, dunia maya (khususnya publik Korea Selatan) dihebohkan oleh tuduhan terhadap aktor Kim Soo-hyun yang diduga menjalin hubungan dengan mendiang aktris Kim Sae-ron. Isu itu makin panas karena disebut-sebut hubungan tersebut terjadi saat Kim Sae-ron masih di bawah umur. Tak lama berselang, film Real (2017) yang menampilkan mendiang Sulli dalam adegan eksplisit kembali mencuat. Warganet pun seketika berubah menjadi hakim, jaksa, sekaligus eksekutor karakter.
Fenomena ini bukan sekadar drama selebriti, melainkan cermin budaya digital kita: haus gosip, miskin empati. Dalam konteks keindonesiaan yang menjunjung nilai agama, respons terhadap isu semacam ini menjadi ujian—apakah kita benar-benar mengamalkan moderasi beragama? Apakah ayat suci hanya jadi status, atau sungguh membentuk karakter?
Islam menekankan pentingnya menjaga kehormatan dan harga diri sesama. QS. Al-Hujurat: 12 bukan sekadar bacaan indah, tapi pedoman hidup, bukan malah dilanggar atas nama "menegakkan kebenaran". Lebih jauh lagi, Allah Swt. memerintahkan prinsip tabayyun, yakni klarifikasi sebelum mengambil kesimpulan. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Hujurat: 6: “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Sayangnya, prinsip ini kerap tergeser oleh budaya "bagikan dulu, pikir belakangan".
Sebagian berkilah, "Mereka figur publik, wajar jika dikomentari." Padahal, dalam Islam, status publik tak menghapus hak atas privasi dan kehormatan. Bahkan terhadap almarhum, kita diperintahkan menjaga aib dan mendoakan, bukan membuka luka lama. Jika pun ingin viral, jangan jadikan empati sebagai tumbal.
Di Finlandia, literasi digital dan etika bermedia menjadi bagian dari kurikulum wajib. Sementara itu, sebagian dari kita sering menjadikan kolom komentar sebagai ajang pelanggaran berjemaah. Sudah saatnya Indonesia menerapkan literasi digital berbasis nilai keagamaan dalam pendidikan dan kampanye sosial. Kementerian Agama, ormas keagamaan, dan influencer berintegritas dapat menjadi penggeraknya. Literasi digital tak cukup hanya paham teknologi, tapi juga paham etika dan adab.
Menjaga martabat sesama, baik yang masih hidup maupun telah wafat adalah bentuk nyata dari moderasi beragama. Islam bukan hanya mengajarkan toleransi antarumat, tetapi juga menuntun kita menjaga lisan, tulisan, dan jempol. Ketika isu selebriti merebak, kita diuji: apakah menjadi penyebar kebaikan atau justru bagian dari kerumunan yang bersorak saat seseorang jatuh?
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil perlu bersinergi. Namun perubahan sejati dimulai dari diri sendiri: dari satu komentar yang tak kita ketik, dari satu tautan yang tak kita sebarkan. Sebab di balik setiap nama yang trending, ada manusia, ada keluarga, dan ada martabat yang harus dijaga.
Biodata Penulis
Ida Ilmiah Mursidin adalah seorang dosen di Institut Agama Islam Negeri Parepare, Indonesia, dan pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Kota Parepare periode 2023–2025. Ia meraih gelar magister dalam bidang Hadis dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar pada tahun 2017. Kontribusi penelitiannya dan gagasannya telah dipublikasikan dalam beberapa buku dan jurnal yang terakreditasi secara nasional. Untuk pertanyaan lebih lanjut, Anda dapat menghubunginya di [email protected].
Tabayyun yang Hilang di Dunia Maya