Ramadhan datang. Seperti biasa, umat Islam gegap gempita menyambutnya. Masjid-masjid mendadak penuh, jalanan padat dengan spanduk-spanduk ceramah, dan televisi tak kalah sibuk menayangkan program-program religi. Semua terasa sakral, penuh semangat keimanan. Namun, di balik itu, ada sesuatu yang menggelisahkan. Sesuatu yang semakin lama semakin menjauhkan Ramadhan dari maknanya yang sejati.
Kita diajarkan bahwa Ramadhan adalah bulan pengendalian diri. Bulan di mana perut dikosongkan agar hati lebih peka, di mana hawa nafsu diredam agar ruhani lebih jernih. Tapi kenyataannya? Coba tengok pasar menjelang berbuka. Orang-orang berjubel memborong makanan seolah esok tak ada lagi warung yang buka. Kolak, gorengan, es buah, dan jajanan lainnya semua dibeli dalam jumlah yang seringkali tak masuk akal. Apa yang terjadi setelah adzan Maghrib berkumandang? Perut kekenyangan, kantuk datang, dan tarawih jadi terasa berat.
Puasa yang seharusnya mengajarkan kesederhanaan justru disikapi dengan konsumsi berlebihan. Puasa yang seharusnya mendidik kesabaran malah berubah menjadi ajang balas dendam atas lapar di siang hari. Lihatlah pusat perbelanjaan, semakin mendekati Idul Fitri, semakin padat manusia. Orang-orang berdesakan memborong baju baru, padahal lemari mereka tak pernah benar-benar kosong. Diskon-diskon di mall disambut lebih antusias daripada ajakan untuk menambah ibadah. Seakan-akan Ramadhan bukan bulan untuk merenungi hidup, tapi festival belanja tahunan yang harus dirayakan dengan semeriah mungkin.
Lalu, apa yang sebenarnya kita cari di Ramadhan? Kebersihan hati atau kepuasan perut? Kedekatan dengan Tuhan atau perayaan konsumerisme? Orang miskin yang seharusnya merasakan keadilan sosial di bulan ini justru makin tertinggal, sementara yang berkecukupan berlomba-lomba menumpuk makanan dan barang-barang yang tak selalu dibutuhkan.
Ramadhan bukan soal siapa yang paling banyak membeli, tetapi siapa yang paling banyak memberi. Bukan soal siapa yang berbuka dengan menu paling lengkap, tetapi siapa yang berbagi dengan mereka yang tak punya apa-apa. Bukan soal baju baru, tetapi hati yang diperbarui.Â
Maka, mari bertanya pada diri sendiri: apakah kita benar-benar sedang berpuasa, atau sekadar menunda makan?
Parepare, 5 Maret 2025
mh
Puasa: Menahan atau mengendalikan?