Ramadan telah berlalu. Ia meninggalkan jejak keheningan, disiplin, dan kesadaran dalam hidup kita yang kadang terlalu sibuk.
Sebulan penuh kita dilatih menahan diri. Dari lapar, dahaga, dan amarah. Namun ada satu hal yang sering luput dari perhatian: hubungan kita dengan dunia digital.
Di sela ibadah dan perenungan, tanpa sadar kita masih menengok layar. Menggulir media sosial tanpa arah. Menonton video tanpa jeda. Terjebak dalam notifikasi yang tak henti menyapa.
Padahal Ramadan adalah waktu menyucikan diri. Menjernihkan hati. Namun, apakah kita juga sempat menyucikan cara kita hadir di dunia digital?
Kini, Ramadan telah usai. Tapi semangat pengendalian diri jangan ikut pergi. Justru inilah saat yang tepat untuk menata ulang cara kita hidup berdampingan dengan teknologi. Mengurangi racun digital (detoksifikasi digital) dalam diri kita.
Levi Felix (2015) menyebut proses ini sebagai digital detox—mengurangi atau menghentikan sementara penggunaan teknologi digital. Tujuannya sederhana namun dalam: memulihkan keseimbangan hidup dan kesehatan mental.
Dalam konteks pasca-Ramadan, detoks digital sejalan dengan upaya menahan diri dari distraksi berlebih. Ia mengajak kita untuk kembali fokus pada hal-hal yang lebih bermakna.
Sebab kita tahu, setiap sentuhan layar membawa kenikmatan singkat. Cameron Sepah (2019) menyebutnya sebagai efek dopamine detox. Ketika kita terus mengonsumsi konten digital tanpa kendali, otak kita terbiasa dengan ledakan dopamin instan.
Lama-lama, kita kehilangan sensitivitas terhadap kebahagiaan yang sederhana. Tertawa bersama keluarga. Obrolan sore yang sunyi. Dzikir yang tulus dalam keheningan.
Ramadan mengajarkan kita ritme hidup yang lebih tertata. Sahur, berbuka, tarawih, waktu dzikir—semua memberi struktur yang menenangkan. Mengapa ritme ini tidak kita terapkan juga pada kebiasaan digital?
Kita bisa memulai dengan menyediakan waktu khusus tanpa layar. Di pagi hari, sebelum tidur, atau saat bersama orang tercinta. Ruang-ruang kecil ini membantu kita kembali hadir—sepenuhnya.
Kita juga belajar memilih yang baik dan halal untuk tubuh. Prinsip yang sama berlaku untuk pikiran. Tak semua informasi layak dikonsumsi. Tak semua konten perlu ditonton.
Interaksi selama Ramadan juga mengingatkan kita: kehangatan hadir secara nyata jauh lebih bermakna daripada seribu percakapan digital. Kebersamaan itu nyata, dan kadang hanya bisa dirasakan lewat tatap muka.
Ketika waktu tak lagi dicuri oleh layar, kita punya ruang untuk hal-hal yang lebih hakiki. Dzikir. Refleksi. Merenung dalam sunyi.
Teknologi bukan musuh. Ia hanya alat. Yang perlu dijaga adalah cara kita menggunakannya.
Ramadan telah melatih kita untuk mengendalikan. Maka, mari lanjutkan kebiasaan itu. Gunakan teknologi dengan niat yang jernih. Dengan tujuan yang jelas.
Karena sejatinya, yang perlu dijaga bukan hanya mulut dari makanan atau hati dari amarah.
Tapi juga jari-jari yang tanpa sadar terus menggulir layar, mencari makna yang sebenarnya telah lama hadir—dalam keheningan yang kita hindari.
Parepare, 1 April 2025
Muhammad Haramain
Pelajaran Pasca Ramadan: Manusia dan Teknologi Digital