Skip ke Konten

Kembali ke Fitrah

Selamat Idul Fitri 1446 H. Mohon maaf lahir dan bathin
30 Maret 2025 oleh
Kembali ke Fitrah
Admin
| Belum ada komentar

Idulfitri selalu datang dengan hangat. Penuh senyum, pelukan, dan maaf yang mengalir tanpa perlu banyak kata. Ia disebut sebagai hari kembali ke fitrah—kembali ke kesucian, seperti bayi yang baru melihat dunia.

Namun di balik gemerlap baju baru dan meja makan yang dipenuhi hidangan nostalgia, muncul pertanyaan yang lebih lirih namun mendesak: apa sebenarnya makna dari “fitrah”?

Dan yang lebih penting—setelah gema takbir meredup dan hari-hari kembali larut dalam kesibukan—apa yang sebenarnya harus kita bawa dari momen fitrah ini untuk terus kita hidupi sepanjang tahun?

Fitrah bukan sekadar puncak perayaan. Ia adalah panggilan untuk pulang—pulang ke diri, ke esensi, ke versi kita yang belum dibebani ambisi, prasangka, dan ego yang dibentuk dunia.

Selama Ramadan, kita diajak menjadi manusia yang lebih utuh. Menahan diri, menundukkan nafsu, membuka tangan untuk memberi, membuka hati untuk menerima. Dan dalam proses itu, kita belajar ulang tentang kebahagiaan—yang ternyata sesederhana segelas air di waktu berbuka, atau senyum ibu yang menyambut pulang.

Itulah fitrah: kesadaran bahwa hidup itu cukup. Bahwa diam bisa lebih menenteramkan dari banyak bicara. Bahwa memaafkan adalah sebuah keindahan, bukan kelemahan.

Tetapi fitrah bukanlah destinasi yang kita capai lalu tinggalkan. Ia adalah benih yang harus dirawat setiap hari. Dalam keputusan yang kita ambil, dalam cara kita memperlakukan orang lain, dalam bagaimana kita melihat diri sendiri ketika tidak ada yang menonton.

Kembali ke fitrah berarti kembali pada kejujuran—pada Tuhan, pada sesama, dan yang paling sulit: pada diri sendiri. Tidak lagi berlomba menutupi luka atau mengejar validasi, tetapi belajar hadir apa adanya—dengan rapuh dan teguh yang berjalan beriringan.

Ia juga berarti kembali pada kelembutan. Di tengah dunia yang kian bising, keras, dan kompetitif, kelembutan adalah bentuk keberanian: untuk mendengarkan, untuk memahami, untuk mengalah tanpa merasa kalah.

Dan mungkin yang paling penting: kembali ke fitrah adalah mengingat bahwa hidup ini bukan sekadar tentang “lebih”—lebih sibuk, lebih sukses, lebih hebat—tapi tentang “cukup.” Tentang menemukan kedamaian dalam apa yang telah kita genggam, bukan terus gelisah pada apa yang belum kita raih.

Fitrah tidak datang setahun sekali. Ia mengetuk pintu setiap hari. Dalam bentuk kesempatan untuk memaafkan, dalam momen untuk menahan amarah, dalam godaan untuk berlaku curang yang bisa kita lawan dengan kejujuran.

Ramadan telah mengasah hati. Idulfitri telah membuka jendela cahaya. Maka tugas kita bukan lagi sekadar kembali ke fitrah—melainkan menjaganya agar tidak menjauh, agar tetap menyala.

Sebab dalam dunia yang berubah begitu cepat, yang kerap membuat kita tersesat tanpa sadar, fitrah adalah satu-satunya kompas yang tak pernah usang.

Parepare, 31 April 2025 / 1 Syawwal 1446 H.

Muhammad Haramain

Kembali ke Fitrah
Admin 30 Maret 2025
Share post ini
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar