Pagi belum benar-benar datang ketika jari saya secara otomatis membuka Instagram dan Facebook. Tidak ada yang istimewa—sekadar kebiasaan yang tak lagi disadari. Seperti ritual kecil yang menggantikan doa subuh, saya memindai wajah-wajah tersenyum, kutipan motivasi, secangkir kopi di jendela, dan tentu saja: caption yang rindu dikagumi.
Lalu saya sadar, bukan hanya saya yang melakukannya.
Kita semua, entah sejak kapan, menjadi manusia yang ingin sekali dilihat.
Media sosial, pada awalnya, hadir sebagai alat berbagi. Kini, ia berubah menjadi panggung eksistensial. Kita tidak hanya mengunggah momen, tetapi merancang citra. Kita tidak hanya berbagi, tetapi berharap disukai. Dalam dunia ini, “like” bukan sekadar tombol, ia adalah pengakuan. Sebuah bentuk kehadiran yang meyakinkan kita bahwa kita ada.
Di zaman sebelum ini, seseorang merasa hidup ketika hatinya tenang, pikirannya jernih, atau saat ia berserah dalam doa. Hari ini, kita merasa hidup ketika notifikasi berbunyi. Ketika ada komentar yang memuji. Ketika story kita direspon.
Eksistensi tak lagi berasal dari dalam, tapi dari luar. Kita menjadi makhluk yang terpantul. Cermin kita adalah layar. Dan yang kita lihat di sana sering kali bukan siapa kita, tapi siapa yang ingin kita tampilkan.
Guy Debord menyebut fenomena ini sebagai “masyarakat tontonan”—di mana manusia lebih percaya pada citra ketimbang kenyataan. Dalam kerangka ini, kita adalah aktor dalam realitas palsu, dan media sosial adalah panggung teater yang tak pernah benar-benar padam lampunya.
Yang paling menyesakkan adalah: kita tahu ini semua semu, tapi tetap saja kita melakukannya.
Dalam khazanah sufistik, eksistensi sejati disebut al-wujud al-haqiqi—ada karena dilihat oleh Tuhan. Bukan oleh manusia. Ada karena kehadiran kita disadari oleh Yang Maha Melihat, bukan oleh algoritma. Al-Ghazali menulis bahwa keikhlasan sejati adalah ketika amal tak butuh pengakuan, cukup Tuhan sebagai saksi. Tapi hari ini, bahkan sedekah pun harus diunggah, bahkan kesalehan pun butuh estetika.
Apakah ini berarti kita munafik? Belum tentu. Barangkali ini hanya menunjukkan betapa sunyinya kita. Betapa kosongnya ruang batin yang dulu ditempati oleh dzikir, kini digantikan oleh keinginan untuk viral.
Dan kesunyian itu, alih-alih kita hadapi, malah kita sembunyikan dengan kebisingan digital.
Maka pertanyaannya bukan lagi: “Apakah kita terlalu sering main media sosial?”—pertanyaannya adalah: "Siapa yang sedang kita tunjukkan di sana? Dan untuk siapa?"
Apakah kita masih tahu siapa diri kita jika tak ada yang menyukai, mengomentari, atau membagikan?
Apakah kita masih bisa merasa cukup hanya dengan dilihat oleh Tuhan?
Kadang saya rindu pada doa yang tak direkam. Pada senyum yang tak difoto. Pada kebaikan yang tak ditulis dalam caption. Saya rindu pada keberadaan yang tenang, bukan yang ramai. Pada eksistensi yang cukup diketahui oleh langit, tak perlu viral di bumi.
Dan barangkali, di situlah iman menemukan bentuknya yang paling jujur: saat puasa. saat kita tidak lagi sibuk tampil, tapi hadir. Diam-diam. Dalam. Penuh makna.
Sawfa la tamurru, ya ramadhan..
Parepare, 30 Ramadhan 1446 H.
Muhammad Haramain
Aku Ada Karena Kau Like: Refleksi tentang Dahaga Validasi