Albert Einstein bukan pesepeda profesional. Tapi ia mengerti betul esensi hidup, lalu merangkumnya dalam satu kalimat sederhana: “Hidup itu seperti mengendarai sepeda. Untuk menjaga keseimbangan, Anda harus terus bergerak.”
Kalimat yang dalam, seolah mudah, tapi penuh jebakan batman.
Coba ingat kapan terakhir kali Anda naik sepeda? Yang benar-benar dikayuh, bukan hanya duduk manis sambil didorong anak kecil di taman kota. Mungkin waktu kecil, atau saat tren sepeda lipat menyerbu kota—lalu hilang lagi seperti kenangan mantan.
Sepeda memang begitu. Tidak bisa diam. Kalau berhenti, jatuh. Itulah hidup. Berhenti berusaha, kita tergilas. Berhenti berpikir, kita jadi korban hoaks. Berhenti belajar, kita tertinggal zaman.
Tapi mari jujur. Ada juga yang tetap melaju tanpa harus mengayuh—didorong keadaan, ditarik ambisi, atau kadang diseret utang.
Kita semua pernah merasakan fase hidup yang goyah. Merasa akan jatuh. Dan satu-satunya cara agar tidak jatuh adalah terus bergerak. Meski berat. Meski nafas tersengal-sengal.
Sepeda dan hidup sama-sama butuh keseimbangan. Tidak boleh terlalu miring ke kanan, nanti dikira fanatik. Terlalu ke kiri, bisa-bisa dicap liberal. Kalau diam di tempat? Tidak ada kemajuan. Tapi kalau ngebut tanpa arah? Bisa masuk jurang.
Lalu bagaimana cara tetap seimbang? Jawabannya sederhana: terus bergerak, tapi tahu kapan harus rem. Persis seperti ekonomi, politik, atau bahkan cinta. Kalau terlalu cepat, bisa tabrakan. Kalau terlalu pelan, bisa disalip orang lain.
Parepare, 11 Maret 2025
Muhammad Haramain
Hidup seperti Mengayuh Sepeda