Orang sering bertanya, kapan momen terbaik dalam hidup? Apakah saat mendapat promosi? Saat menikah? Atau ketika pertama kali menggendong anak?
Ibnu Athaillah As-Sakandary punya jawaban berbeda. Bukan saat-saat penuh kemenangan, bukan pula momen ketika semua berjalan sesuai rencana. Ia justru mengatakan:
خَيْرُ أوْقاتِكَ وَقْتٌ تَشْهَدُ فيهِ وُجودَ فاقَتِكَ وَتُرَدُّ فيهِ إلى وُجودِ ذِلَّتِكَ
> "Saat-saat terbaik yang kau miliki adalah ketika engkau menyadari betapa tergantungnya dirimu pada Allah dan hal itu menyadarkan betapa lemah dan hinanya dirimu."
Behh..
Bukan di puncak kejayaan. Tapi justru di titik terendah. Saat semua ambisi rontok. Ketika tidak ada lagi pegangan selain Dia. Itulah saat terbaik.
Tapi siapa yang ingin berada di situasi itu? Tidak ada. Kita tidak suka jatuh. Kita tidak suka merasa kecil. Kita ingin hidup tanpa cela, tanpa krisis, tanpa kesulitan.
Tapi di situasi itulah—kata Ibnu Athaillah—kita benar-benar hidup. Kita kembali kepada Tuhan, dengan hati yang jujur, tanpa kepalsuan. Karena pada saat itulah kita sadar: kita tidak punya apa-apa.
Seorang teman pernah bercerita, bagaimana hidupnya berubah setelah bangkrut. Sebelumnya, ia sibuk mengejar proyek, menjalin koneksi, membangun bisnis. Lalu semuanya runtuh dalam semalam. Rumah dijual, mobil hilang, tabungan lenyap.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya, ia berdoa bukan sebagai formalitas, tapi sebagai kebutuhan.
Di saat-saat seperti itulah, katanya, ia merasakan Tuhan lebih dekat dari sebelumnya.
Itulah momen terbaik dalam hidup—menurut Ibnu Athaillah. Saat kita kembali kepada Tuhan, bukan karena kita ingin, tapi karena kita tidak punya pilihan lain.
Saat kita sadar bahwa kita bukan siapa-siapa. Bahwa semua yang kita genggam selama ini, ternyata bukan milik kita.
Dan di saat itu, hati kita tenang. Sebab kita tahu, tidak ada tempat yang lebih aman daripada dalam genggaman-Nya.
Parepare, 10 Maret 2025
Muhammad Haramain
Waktu Terbaik