Bahasa keberagamaan menyimpan kekuatan yang luar biasa. Kata-kata yang kita pilih untuk menyebut cara manusia berhubungan dengan Tuhan akan membentuk cara pandang kita terhadap agama itu sendiri. Tiga istilah yang sering dipakai; religius, tadayyun, dan religiositas, tampak mirip di permukaan, namun memiliki akar linguistik, semantik, dan konteks pemakaian yang berbeda. Dengan memahami perbedaan itu, kita bisa membangun pemahaman yang lebih utuh tentang wajah keberagamaan manusia.
Religius: Sifat yang Tampak
Istilah religius merupakan serapan dari bahasa Latin religiosus. Ia berbentuk adjektiva, kata sifat yang digunakan untuk menilai seseorang berdasarkan tampilan lahiriah keagamaannya. Orang yang rajin beribadah, gemar menghadiri pengajian, atau mengenakan simbol-simbol agama sering disebut religius.
Dalam konteks ini, religius lebih berfungsi sebagai label sosial. Ia merupakan penilaian eksternal yang dilekatkan oleh masyarakat kepada individu. Seorang mahasiswa yang setiap Jumat terlihat di masjid, seorang tetangga yang konsisten berpakaian sesuai syariat, atau seorang tokoh yang aktif mengingatkan nilai-nilai agama—mereka akan cepat mendapat predikat religius.
Namun, religius belum tentu mencerminkan kedalaman iman. Ia bisa menjadi cermin yang memantulkan citra luar, tetapi tidak selalu mengungkap isi batin. Seorang individu bisa tampak religius dari luar, namun hatinya kosong dari penghayatan spiritual. Karena itu, religius sering kali bersifat rapuh: mudah dipertontonkan, tetapi juga mudah dipertanyakan.
Tadayyun: Jalan Hidup dengan Agama
Lebih dalam dari sekadar religius adalah istilah tadayyun (تديّن), yang berakar dari bahasa Arab d-y-n (دين). Secara morfologis, ia berbentuk masdar dari pola tafa‘‘ul, yang bermakna proses reflektif. Tadayyun berarti menjadikan agama sebagai laku hidup.
Jika religius lebih pada citra lahiriah, maka tadayyun adalah praktik nyata: shalat yang konsisten, zakat yang ditunaikan, akhlak yang dijaga, dan kepedulian sosial yang ditumbuhkan. Tadayyun tidak berhenti pada simbol, tetapi mengakar dalam tindakan sehari-hari. Ia menuntut integrasi antara iman di hati, ucapan di lisan, dan amal di perbuatan.
Dalam tradisi Islam, tadayyun memiliki nuansa normatif. Ia menekankan kepatuhan terhadap syariat dan konsistensi dalam ibadah. Tetapi tadayyun juga mengandung makna sosial: keberagamaan tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan juga berdampak pada lingkungan sekitar. Inilah mengapa para ulama sering menekankan bahwa kesalehan individu harus berbuah pada kesalehan sosial.
Dengan demikian, tadayyun adalah jalan yang ditempuh, bukan sekadar sifat yang ditampilkan. Ia adalah agama yang bergerak, yang hidup bersama langkah manusia dalam ruang dan waktu.
Religiositas: Kedalaman yang Terukur
Istilah ketiga, religiositas, berasal dari kata Latin religio dengan imbuhan -sitas yang menunjuk pada kualitas atau kadar. Dalam bahasa akademik, ia menjadi religiosity. Religiositas digunakan untuk menggambarkan seberapa dalam agama berperan dalam kepribadian seseorang.
Berbeda dengan religius yang lebih sosial dan tadayyun yang lebih normatif, religiositas bersifat analitis-akademik. Ia berfungsi sebagai konsep ilmiah yang bisa diukur, dikaji, dan dibandingkan. Misalnya, Huber & Huber (2012) melalui Centrality of Religiosity Scale (CRS) menyusun lima dimensi religiositas: intelektual, ideologi, praktik publik, praktik privat, dan pengalaman religius.
Melalui pendekatan ini, religiositas dapat dipahami sebagai multidimensi:
- Intelektual – seberapa sering berpikir tentang isu agama.
- Ideologi – sejauh mana seseorang meyakini keberadaan Tuhan atau realitas transenden.
- Praktik Publik – keterlibatan dalam ibadah berjamaah.
- Praktik Privat – doa dan ibadah pribadi.
- Pengalaman Religius – perasaan dekat dengan yang Ilahi.
Religiositas dengan demikian tidak hanya melihat agama sebagai simbol atau praktik, melainkan sebagai sentralitas dalam kepribadian. Semakin tinggi religiositas seseorang, semakin besar pula pengaruh agama dalam cara ia berpikir, merasakan, dan bertindak.
Penutup
Perbedaan antara religius, tadayyun, dan religiositas membantu kita melihat keberagamaan manusia secara lebih utuh.
- Religius mengingatkan bahwa simbol dan tampilan tetap penting, karena dari sanalah orang lain mengenali identitas agama kita.
- Tadayyun menekankan bahwa agama adalah jalan hidup yang nyata, bukan sekadar simbol.
- Religiositas memberi alat ukur untuk memahami kedalaman agama dalam kepribadian manusia.
Dengan menyatukan ketiganya, kita diingatkan bahwa agama bukan sekadar label sosial, melainkan jalan hidup yang dijalani, dan kedalaman yang mengakar dalam diri. Inilah wajah keberagamaan yang seimbang: indah di luar, kokoh di tengah, dan dalam di akar
Apa itu Religiositas?