"Sejatinya, agama akan menjadi keras jika hanya mengenal maskulin Tuhan, dan akan menjadi rahmat jika menghadirkan harmoni antara maskulin dan feminis Tuhan."
Kekerasan atas nama agama sering lahir bukan dari teks, melainkan dari tafsir yang timpang. Ketika wajah Tuhan hanya dikenalkan dalam bentuk maskulin, perkasa, menghukum, penuh wibawa, agama kehilangan kelembutannya. Akibatnya, agama tampil kaku, bahkan keras.
Teologi Maskulin dan Ketimpangan Tafsir
Karen Armstrong dalam bukunya The Battle for God (2000) menegaskan bahwa fundamentalisme keagamaan sering muncul karena penekanan berlebihan pada kekuasaan Tuhan tanpa diimbangi wajah kasih-Nya. Tuhan dipersepsi sebagai penguasa absolut yang menuntut ketaatan, dan manusia hanya objek perintah.
Demikian pula, Seyyed Hossein Nasr dalam The Heart of Islam (2002) mengingatkan bahwa Islam sejatinya adalah agama keseimbangan (mizan), tetapi jika hanya sisi jalal (keagungan dan kekuasaan) yang ditonjolkan tanpa jamal (keindahan dan kasih sayang), maka agama bisa jatuh pada kekerasan.
Feminis Tuhan: Wajah yang Sering Dilupakan
Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an (1980) menulis bahwa inti Al-Qur’an adalah rahmah (kasih sayang), bukan hukum yang kaku. Namun, tafsir maskulin yang dominan justru menekankan sisi legalistik, sehingga umat lebih takut dari pada merasa dekat dengan Tuhan.
Asmaul Husna (nama-nama Tuhan) sendiri menampilkan harmoni antara maskulin dan feminis Tuhan:
- Nama-nama Tuhan seperti Al-Jabbar, Al-‘Aziz, Al-Qahhar, menunjukkan sisi maskulin, penuh wibawa dan kekuatan.
- Nama-nama Tuhan seperti Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Wadud, Al-Lathif menunjukkan sisi feminis, penuh rahmat dan kelembutan.
Sayangnya, teologi kita lebih sering mengulang yang pertama, melupakan yang kedua.
Bahaya Ketimpangan: Agama yang Keras
Amina Wadud dalam Qur’an and Woman (1999) menyoroti bahwa ketika aspek rahmah Tuhan diabaikan, tafsir menjadi bias kekuasaan dan cenderung menindas. Walau fokus Wadud pada relasi gender, pesannya relevan lebih luas: agama bisa keras karena kita hanya mengenal satu wajah Tuhan, maskulin-Nya.
Hal ini juga sejalan dengan pemikiran al-Ghazali dalam al-Maqshad al-Asna fi Sharhi Ma‘ani Asma’ Allah al-Husna, yang menekankan perlunya menyeimbangkan jalal dan jamal agar manusia dapat mengenal Tuhan secara utuh.
Pesan moral
Wahai para akademisi, tugas kita bukan hanya mengulang tafsir lama, melainkan menghadirkan kembali wajah feminis Tuhan yang penuh kasih. Dengan itu, agama tak lagi dipersepsi sebagai cambuk, tetapi juga sebagai pelukan. Karena sejatinya, agama akan menjadi keras jika hanya mengenal maskulin Tuhan, dan akan menjadi rahmat jika menghadirkan harmoni antara maskulin dan feminis Tuhan.
Agama Bisa Keras Karena Kita Hanya Mengenal Tuhan yang Maskulin