Skip ke Konten

Salah Kaprah Nasional: Mengapa Kita Masih Menulis 'Idul Fitri'?

oleh Suhartina
29 Maret 2025 oleh
Salah Kaprah Nasional: Mengapa Kita Masih Menulis 'Idul Fitri'?
Suhartina
| Belum ada komentar

"Sebuah kesalahan yang diulang-ulang akan dianggap sebagai kebenaran."– Joseph Goebbels

Bayangkan Anda melihat iklan diskon besar-besaran di sebuah toko online: “Harga asli Rp1.500.000, sekarang hanya Rp150.000!” Terlalu bagus untuk dilewatkan, bukan? Namun, setelah checkout, Anda baru sadar ada kesalahan ketik—seharusnya Rp1.500.000 menjadi Rp1.150.000, bukan Rp150.000. Kecewa? Pasti.

Menariknya, dalam hal uang, kesalahan sekecil apa pun langsung disadari dan dikoreksi. Namun, ketika seseorang menulis Idul Fitri, Iedul Fitri, atau bahkan Id Fitri, banyak yang menerimanya begitu saja tanpa berpikir ulang. Padahal, seperti halnya angka dalam transaksi, kesalahan dalam bahasa pun seharusnya tidak diabaikan. Jika dibiarkan terus-menerus, lama-kelamaan kita akan menganggap yang salah sebagai sesuatu yang wajar—dan itulah awal dari kekeliruan yang lebih besar.

Mari kita bicara soal ketegasan. Kita bisa berdebat seharian tentang pentingnya tanda baca dalam teks hukum atau pengaruh pemenggalan kata dalam puisi, tetapi ketika menyangkut penulisan Idulfitri, kita seakan memasuki wilayah tanpa hukum, di mana siapa pun boleh menulis sesuka hati. Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penulisan yang benar adalah Idulfitri—satu kata, tanpa spasi, tanpa variasi eksotis ala kuliner fusion.

Salah kaprah ini mirip dengan orang yang ngotot menyebut 'jamaah' padahal yang dimaksud 'jemaah', atau orang yang menulis 'handal' ketika maksudnya 'andal'. Mungkin tidak sepenting salah menulis jumlah angka dalam rekening transfer, tapi tetap saja, ini soal ketepatan dalam berbahasa.

Sebagian orang berkilah, "Ah, yang penting maksudnya sampai!" Bukankah bahasa adalah alat komunikasi yang harus digunakan dengan cermat? Jika kita tidak mempermasalahkan Idul Fitri, lalu apa selanjutnya? Terima kasih menjadi terimakasih ? Garuda Pancasila menjadi Garuda Panca Sila? Sedikit demi sedikit, kita membuka pintu bagi kekacauan linguistik.

Lebih fatal lagi jika kekeliruan ini dilakukan oleh instansi pemerintahan. Tiap tahun, baliho raksasa, spanduk, dan selebaran resmi dari berbagai kementerian, pemerintah daerah, hingga lembaga pendidikan, dengan bangga menampilkan ucapan "Selamat Idul Fitri". Seharusnya, sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam komunikasi publik, mereka menjadi contoh dalam penggunaan bahasa yang benar. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—kesalahan ini terus direproduksi, seakan-akan mendapat restu dari lembaga yang seharusnya menjaga standar kebahasaan.

Bayangkan jika Bank Indonesia keliru dalam menulis nominal mata uang di lembaran rupiah, atau jika Kementerian Hukum dan HAM salah ketik dalam pasal undang-undang. Akibatnya tentu tidak main-main. Lalu, mengapa kesalahan dalam bahasa yang juga merupakan bagian dari identitas bangsa ini dibiarkan begitu saja? Jika instansi pemerintah bisa begitu teliti dalam memastikan keserasian warna dalam logo, mengapa mereka tidak bisa meluangkan sedikit perhatian untuk memastikan dua kata yang seharusnya menyatu ini tetap dalam format yang benar?

Maka dari itu, mari kita berikan penghormatan kepada bahasa kita sendiri. Sebagaimana kita menuntut orang lain menyebut nama kita dengan benar—tanpa tambahan huruf atau penghilangan vokal seenaknya—mari kita perlakukan kata-kata dalam bahasa Indonesia dengan hormat yang sama.

Jadi, jika Anda masih menulis Idul Fitri dengan spasi, ingatlah: mereka satu kesatuan, seperti ketupat dan opor atau seperti THR dan kebahagiaan sesaat. Biarkan tetap utuh—Idulfitri. Selamat Idulfitri! (Tanpa spasi, ya.)

Biodata penulis

Suhartina adalah dosen Bahasa Indonesia di IAIN Parepare. 

di dalam Sudut Pandang
Salah Kaprah Nasional: Mengapa Kita Masih Menulis 'Idul Fitri'?
Suhartina 29 Maret 2025
Share post ini
Label
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar