Skip ke Konten

Ketika Kata Tak Selalu Sama

oleh Suhartina
10 Maret 2025 oleh
Ketika Kata Tak Selalu Sama
Admin
| Belum ada komentar

Pernahkah kita salah memilih kata dan tanpa sadar melukai perasaan seseorang? Atau menganggap dua kata memiliki arti yang sama, padahal sebenarnya berbeda? Hal itu pula yang saya sadari ketika subuh tadi, Dafa, anak pertama saya, bertanya, "Ummi, apa bedanya cerdas dan pintar?" Jawabannya seharusnya mudah, tapi saya justru terdiam. Kadang, menjelaskan hal sederhana kepada anak jauh lebih sulit daripada mengajarkan teori linguistik di kelas.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menganggap kata-kata yang mirip sebagai sinonim yang bisa dipakai sesuka hati. Cerdas dan pintar, misalnya, sering dianggap sama. Padahal, keduanya punya nuansa berbeda. Cerdas lebih menggambarkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sementara pintar lebih terkait dengan kepandaian akademik atau keterampilan teknis. Seseorang yang selalu mendapat nilai 100 di ujian bisa disebut pintar, tapi kalau ia bisa menemukan cara unik untuk menyelesaikan masalah, itulah yang disebut cerdas. 

Kesalahan memahami sinonim tak hanya membuat komunikasi rancu, tetapi juga bisa berujung pada kesalahpahaman yang lucu—atau bahkan menyinggung. Misalnya, dalam penggunaan kata mati dan meninggal. Secara makna, keduanya berarti berhentinya kehidupan, tetapi dalam norma sosial, meninggal digunakan untuk manusia, sedangkan mati lebih sering dipakai untuk hewan atau tumbuhan. Namun, dalam percakapan sehari-hari, tidak jarang kita mendengar orang berkata, "Mati kasihan si Fulan." Kedengarannya biasa, tapi pernahkah kita berpikir pemilihan kata yang kita gunakan menyebabkan kesalahpahaman atau bahkan menyinggung perasaan orang lain? Kata-kata yang keluar dari mulut kita mungkin terdengar wajar bagi sebagian orang, tetapi bisa jadi terasa janggal atau tidak pantas bagi yang lain.

Hal yang sama terjadi pada penggunaan kata mati dan padam. Kita terbiasa mengatakan "Mati lampu," padahal yang lebih tepat adalah "lampu padam." Sepertinya sepele, tetapi bukankah bahasa mencerminkan cara berpikir kita? Jika kita bisa lebih cermat dalam memilih kata, kita juga bisa lebih peka dalam memahami makna di baliknya.

Kesalahan lain yang umum terjadi adalah penyebutan angka nol sebagai kosong. Banyak orang mengatakan, "Nomor HP saya kosong delapan satu..." Padahal, dalam kaidah bahasa Indonesia, angka 0 seharusnya dibaca sebagai nol, bukan kosong. Kata kosong lebih tepat digunakan untuk menunjukkan ketiadaan sesuatu, seperti "Kelas ini kosong," sedangkan nol adalah bilangan numerik yang memiliki nilai. Dalam dunia akademik dan profesional, penggunaan istilah yang tepat sangat penting agar tidak terjadi kesalahpahaman, apalagi dalam bidang teknik, komunikasi radio, atau penerbangan, di mana penyebutan angka yang salah bisa berakibat fatal.

Kesalahan semacam ini mungkin tidak selalu menimbulkan dampak besar, tetapi dalam beberapa situasi, bisa membuat komunikasi menjadi lebih sulit atau bahkan membingungkan. Misalnya, dalam dunia akademik, kesalahan memahami sinonim bisa menyebabkan perbedaan interpretasi yang signifikan. Jika seorang mahasiswa salah membedakan antara metode dan pendekatan, atau analisis dan interpretasi, maka bukan hanya dosennya yang geram, tetapi juga mahasiswa sendiri yang bisa kehilangan arah dalam penelitiannya.

Sebagai penjaga intelektualitas, kaum akademisi tak boleh sembarangan dalam memilih kata. Sebab, ketika mereka ceroboh dalam berbahasa, bagaimana mereka bisa diandalkan dalam menjaga ketepatan ilmu pengetahuan? Kesalahan berbahasa, sekecil apa pun, bisa berdampak besar dalam dunia penelitian, hukum, atau komunikasi publik. Meremehkan ketepatan berbahasa sama saja dengan meremehkan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Kembali ke pertanyaan Dafa tadi subuh, saya akhirnya menjawab, "Cerdas itu seperti orang yang bisa berpikir kreatif dan menemukan solusi baru, sedangkan pintar lebih seperti anak yang selalu dapat nilai bagus di sekolah." Dafa mengangguk, lalu matanya berbinar seolah menemukan sesuatu. "Ummi, berarti bukan 'kasih hidup TV' tapi 'nyalakan TV'?"

Saya tertawa kecil dan mengangguk. "Tepat sekali. Sama seperti kita bilang 'mematikan lampu', bukan 'membunuh lampu'." Dafa tertawa mendengar itu. Saya pun berpikir, betapa seringnya kita mengabaikan ketepatan berbahasa hanya karena kebiasaan. Padahal, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cermin pemikiran kita. Jika kita tidak cermat dalam memilih kata, bisa jadi kita juga tidak cermat dalam berpikir dan bertindak.

Pada akhirnya, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cermin pemikiran dan empati kita. Salah memilih kata bisa menciptakan kesalahpahaman—atau bahkan melukai. Jadi, masihkah kita meremehkan ketepatan berbahasa?

 

di dalam Sudut Pandang
Ketika Kata Tak Selalu Sama
Admin 10 Maret 2025
Share post ini
Label
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar