Cinta, seperti tanda titik, kadang terlalu tergesa: hadir sebelum waktunya, mengakhiri sesuatu yang belum sempat berkembang. Dalam banyak kisah, perpisahan bukan selalu karena konflik besar, melainkan karena keputusan yang terlalu cepat. Seolah-olah cinta adalah kalimat yang harus segera diakhiri, padahal barangkali yang dibutuhkan hanya koma, jeda sejenak, bukan garis akhir.
Titik memang punya kuasa. Dalam bahasa, ia adalah simbol final: penentu akhir, pemutus makna, dan penyelesai pesan. Namun, tidak semua yang tampak selesai harus diakhiri. Salah menempatkan titik bisa membunuh kemungkinan, memutus kalimat yang masih punya peluang berkembang. Begitu pula dalam hubungan. Terlalu cepat mengakhiri bisa menjauhkan kita dari kemungkinan pemahaman, atau bahkan penyembuhan.
Fenomena ini tak hanya terjadi dalam laku asmara. Dalam dunia tulis-menulis, titik juga sering diperlakukan dengan sembarangan. Masalah tanda baca kerap disepelekan, padahal ia bisa menentukan apakah sebuah tulisan tampak cermat atau justru sembrono. Ambil contoh yang jamak ditemui: penulisan singkatan keagamaan. Banyak orang terbiasa menulis SWT, SAW, atau RA—semuanya dalam huruf kapital dan tanpa titik. Seolah-olah itu nama lembaga, bukan singkatan dari frasa yang mengandung makna sakral.
Padahal, menurut kaidah yang ditetapkan dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EYD jilid V), singkatan keagamaan seperti Subḥānahu wa Taʿālā, ṣallā Allāhu ʿalayhi wa sallam, dan raḍiyallāhu ʿanhu ditulis sebagai Swt., saw., dan ra.—dengan titik di akhir karena ia merupakan singkatan dari beberapa kata. Penulisan yang benar bukan hanya soal tata bahasa, tapi juga bentuk kehati-hatian dalam menghormati makna.
Kesalahan lain yang sering dijumpai adalah kebiasaan menambahkan titik pada lambang atau akronim yang tak membutuhkannya. Misalnya, masih banyak yang menulis Rp.2.000,00. Padahal, Rp adalah lambang mata uang dan tidak memerlukan titik. Yang benar: Rp2.000,00. Begitu pula NIP (Nomor Induk Pegawai) yang sering ditulis N.I.P. atau juga NIP.—padahal sebagai akronim, cukup ditulis NIP saja, tanpa titik di antara hurufnya maupun sesudahnya.
Contoh lain adalah redundansi dalam kalimat tanya atau seru. Masih ada yang menulis “Siapa namamu?.” atau “Luar biasa!.” Tanda tanya dan tanda seru itu sudah berfungsi menutup kalimat. Menambahkan titik hanya membuatnya tampak berlebihan, bahkan mengacaukan maksud. Seperti dalam relasi: kadang yang memperkeruh bukan konflik besar, tapi tambahan-tambahan kecil yang tak perlu.
Titik bukan hanya pemutus kalimat. Ia juga bisa menjadi penanda bahwa sesuatu telah utuh. Misalnya, dalam struktur paragraf, titik digunakan untuk mengakhiri pernyataan lengkap yang kemudian diikuti perincian dalam bentuk kalimat baru, paragraf baru, atau subjudul baru. Dalam konteks ini, titik memberi jeda agar pembaca bisa bernapas, lalu bersiap untuk masuk ke rincian yang lebih dalam. Ia menandai bahwa sebuah gagasan telah selesai, dan sekarang kita bersiap melanjutkan dengan kepala yang lebih tenang.
Sama halnya dengan cinta yang matang, titik pun seharusnya hadir pada saat yang tepat. Tidak datang terlalu cepat hingga memotong harapan, tapi juga tidak terlalu lambat hingga membingungkan makna. Ia muncul ketika pesan telah selesai disampaikan, ketika perasaan telah menemukan bentuknya.
Karena titik, sekecil apa pun, bisa mengubah arah kalimat. Bahkan arah kisah.
Biodata Penulis
Suhartina, M.Pd., adalah seorang akademisi IAIN Parepare dan penulis yang aktif dalam bidang Pendidikan Bahasa Indonesia. Selain mengajar, ia juga terlibat dalam berbagai organisasi, termasuk sebagai Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Kota Parepare dan anggota Asosiasi Dosen Bahasa Indonesia Sulawesi Selatan.
Titik yang Terlalu Cepat: Ketika Cinta dan Tanda Baca Tak Saling Menunggu