Aku hanyalah sampah.
Bungkus mi instan, plastik kopi, sisa tisu wajah, dan selembar kertas ujian yang gagal dikumpul. Aku lahir dari tangan-tangan yang tergesa, lalu dibuang tanpa pandang. Aku tak bernama, tapi jumlahku cukup untuk menutupi halaman kampus. Setiap kali angin lewat, aku menari tanpa irama, seperti janji-janji yang diumbar tapi tak pernah dipungut kembali.
Pagi itu, hujan baru saja reda. Lumpur menempel di tubuhku, aroma tanah bercampur sisa kopi. Di kejauhan, kulihat beberapa mahasiswa lewat sambil bercanda. Satu tangan memegang ponsel, tangan lain menggenggam sisa makanan yang akan segera berakhir di tanah. Aku hanya bisa menatap: inilah generasi yang sedang belajar tentang green campus, tapi masih membuang mimpi dan sampah di tempat yang sama.
Langkah-langkah berat mendekat. Suara sapu lidi menyentuh tanah pelan, disusul desah napas yang berirama. Seorang perempuan berseragam abu-abu memungutku dengan sabar. Aku mengenalnya: petugas kebersihan yang jarang disebut dalam laporan tahunan kampus. Ia memungut bukan untuk dipuji, tapi karena tahu kalau dibiarkan, aku akan menumpuk dan membusuk seperti masalah yang tak pernah selesai dibahas dalam rapat.
Namun, yang membuatku terdiam adalah sosok di belakangnya, seorang pria berpeci, mengenakan kemeja basah oleh peluh. Ia Wakil Rektor II di kampus ini.
Aku tercekat. Ini bukan kali pertama aku melihatnya. Terlampau sering. Hingga mungkin aku lebih mengenalnya daripada dokumen keuangan yang harusnya menjadi bagiannya.
Kadang aku berpikir, bukankah ia seharusnya berada di ruang rapat, membahas anggaran serdos dosen-dosen yang kemarin datang menggugat karena terlampau lama dijanji, atau menandatangani surat-surat penting yang katanya demi kemajuan kampus? Tapi pagi itu, lagi, ia justru menggulung lengan baju dan mengangkat karung.
“Biar saya bantu, Bu,” katanya. “Kalau ditunda, nanti tambah kotor.”
Suaranya tenang, tanpa nada perintah. Ia menunduk, memungut plastik, menyapu daun, dan memasukkannya ke karung. Aku nyaris tak percaya. Di negeri ini, pemandangan pejabat yang benar-benar bekerja tanpa kamera adalah peristiwa langka, lebih langka dari kejujuran dalam rapat anggaran.
Beberapa mahasiswa berhenti di pinggir jalan. Ada yang mengambil foto, ada yang menonton sambil tertawa kecil.
“Sungguh pemimpin teladan,” bisik seorang mahasiswa dengan nada setengah kagum, setengah tak percaya.
Yang lain menimpali, “Kalau mau dapat nilai etika lingkungan, sebaiknya ikut bantu juga.”
Mereka tertawa lagi, lalu pergi.
Aku ingin berteriak, Hei, lihatlah! Bukan hanya daun yang disapu, tapi rasa malu kalian juga! Tapi aku hanya bisa diam, berdesir di dasar karung.
Sapu lidi itu bergerak seperti jarum jam yang sabar. Tiap gerakannya menandai waktu yang terbuang untuk mengurus kelalaian orang lain. Kadang aku berpikir, mungkin beginilah wajah negeri ini: orang yang berbuat sedikit dianggap pahlawan, karena yang lain hanya pandai berbicara.
Salah seorang CS bergumam, “Kalau nggak dibantu, bisa sore baru selesai.”
Yang lain menjawab lirih, “Padahal yang buang ya mereka juga.”
Kata-kata itu menamparku. Bukan karena aku bersalah, tapi karena aku tahu betapa benar ucapan itu. Di kampus yang setiap hari membicarakan moral, ternyata moral yang paling sederhana justru tercecer di selokan. Kulihat beberapa mahasiswa tampak tertidur lelap di musalah tak jauh dari tempatku dan teman-teman aku dibersihkan. Entahlah aku tak yakin, apakah mereka yang membuangku? Atau mereka tidak pernah melihatku? Mustahil. Mengapa mereka tak pernah memungut kami? Padahal sepanjang malam kudengar salah satu dari mereka berdakwah tentang kebersihan sebagian dari iman. Mhhh entahlah, kadang-kadang aku merasa, orang lebih mudah menyampaikan sesuatu, tapi lupa melaksanakannya.
Dari dalam karung, aku mendengar seseorang berkata,
“Kalau mau mendidik, harusnya bangunkan mereka, jangan dibersihkan sendiri. Biarkan mereka tahu tentang kesalahan mereka membuang sampah.”
Kalimat itu menembus tubuh plastikku yang dingin. Aku berpikir, mungkin bukan hanya manusia yang harus dibangunkan dari tidurnya, tetapi juga kesadarannya.
Namun di negeri ini, membangunkan kesadaran sering dianggap mengganggu kenyamanan. Orang lebih suka menutup mata, asal halamannya terlihat bersih di depan tamu.
Wakil Rektor II itu berhenti sejenak. Ia memandang halaman yang mulai bersih, lalu berkata pada petugas di sampingnya,
“Bersih itu bukan soal siapa yang memungut, tapi siapa yang masih peduli.”
Kata “peduli” itu sederhana, tapi terasa berat di telingaku. Aku pernah mendengar kata yang sama di spanduk-spanduk kegiatan sosial, tapi jarang kulihat diwujudkan di lapangan. Kadang, kepedulian di negeri ini hanya muncul ketika kamera menyala dan spanduk dibentang.
Aku pernah menjadi bagian dari acara seremonial itu. Dibuang di taman, dipungut saat lomba kebersihan, lalu dibuang lagi sehari setelah piala dibagikan. Seolah kebersihan hanya penting ketika ada juri, bukan karena kesadaran.
Sekarang, aku berada di karung yang diangkat sendiri oleh Wakil Rektor II.
Aku merasa ringan. Bukan karena keluar dari tanah, tapi karena diselamatkan oleh seseorang yang seharusnya tidak perlu turun tangan. Ironis, tapi hangat.
Beberapa mahasiswa akhirnya ikut membantu. Ada yang memungut botol, ada yang menyapu daun. Mungkin malu, mungkin tersentuh. Salah satu dari mereka berkata, “Kita ini calon guru, tapi malah membiarkan dosen kita nyapu. Malu juga, ya.”
Yang lain menjawab, “Iya, tapi siapa suruh dosennya nggak bisa diam?”
Aku hampir tertawa. Kadang manusia berpikir bantuan adalah kelemahan, padahal itu bentuk kekuatan moral.
Menjelang siang, karung tempatku sudah penuh. Aku diangkat ke truk sampah bersama teman-temanku: plastik, daun, dan sisa tugas yang tak dikumpulkan. Dari kejauhan, aku melihat halaman kampus kembali bersih.
Namun, di benakku, muncul pertanyaan kecil:
Apakah kebersihan itu akan bertahan sampai besok? Ataukah aku akan kembali lahir dari tangan-tangan yang tak belajar apa-apa?
Aku hanyalah sampah, tapi aku tahu: yang membuat tempat ini kotor bukan angin, melainkan manusia yang merasa dirinya terlalu penting untuk membungkuk.
Sementara Wakil Rektor II dan CS itu pergi dengan pakaian basah, beberapa mahasiswa kembali melintas membawa kopi susu dalam gelas plastik. Salah satunya melempar bungkus roti ke tanah dan berkata santai, “Nanti juga ada yang bersihin.”
Ah, barangkali begitulah negeri ini, selalu berharap ada yang membersihkan kesalahan, tanpa pernah ingin berhenti membuatnya.
Aku, sampah, hanya bisa berdoa semoga suatu hari nanti, mereka tidak menunggu pejabat datang untuk memungut tanggung jawabnya sendiri.
Suara dari Dalam Karung