Di tengah budaya yang kian memuja status akademik, kita kerap lupa: kesuksesan tidak semata lahir dari ruang kuliah bergengsi. Ada ruang lain, lebih sunyi tapi sarat makna, rumah. Di sanalah karakter, ketahanan, dan kecerdasan emosional anak mulai bertumbuh. Sayangnya, ruang ini sering luput dari sorotan, tenggelam di balik gemerlap nama almamater.
Saya pernah mengalaminya. Suatu hari, saya berjalan bersama teman. Seorang kenalan bertanya, “Kuliah di mana?” Saat saya menyebutkan kampus saya, ia hanya tersenyum sopan. Tapi ketika teman saya menyebut nama universitasnya—yang kebetulan terkenal—wajah penanya berubah sumringah. Pujian mengalir deras, seolah masa depan teman saya sudah dijamin cemerlang.
Pengalaman ini meninggalkan tanya: Benarkah kualitas seseorang cukup diukur dari nama institusinya? Tidakkah itu menyederhanakan proses panjang yang membentuk pribadi dan nilai hidup seseorang?
Sebelum seorang anak mengenal huruf atau gerbang universitas, ia telah menjalani "kelas pertama" dalam hidupnya: rumah. Tanpa papan tulis dan jadwal pelajaran, ia belajar lewat pelukan, percakapan, dan sorot mata yang penuh kasih. Proses sunyi inilah fondasi yang membentuk siapa dirinya kelak—emosinya, karakternya, bahkan cara berpikirnya.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan UNICEF, 80 persen kapasitas otak terbentuk sebelum usia lima tahun. James Heckman, peraih Nobel Ekonomi, menegaskan bahwa return investasi terbesar dalam pendidikan terjadi pada masa kanak-kanak awal, terutama bagi anak dari keluarga prasejahtera. Ironisnya, fase ini justru sering diabaikan. Banyak orang tua lebih fokus menabung demi sekolah unggulan, alih-alih hadir secara emosional saat anak sedang membentuk dasar-dasarnya. Padahal, hal-hal esensial seperti pelukan, waktu bersama, dan rasa aman tak butuh biaya besar. Jika fondasi ini lemah, lembaga pendidikan sehebat apa pun hanya bisa menambal—bukan membangun ulang.
Badan Pusat Statistik mencatat partisipasi anak usia dini (PAUD) baru sekitar 34 persen. Artinya, mayoritas anak belum mendapat stimulasi terstruktur di luar rumah. Padahal tokoh pendidikan seperti Montessori, Piaget, dan Vygotsky telah lama menegaskan pentingnya interaksi emosional dan pendampingan sadar dalam perkembangan anak.
Jika kita sungguh ingin mencetak generasi tangguh, kita harus berhenti menjadikan nama institusi sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan. Pendidikan paling bermakna justru berlangsung di ruang tamu yang penuh cerita, di dapur tempat anak belajar berbagi, atau di teras tempat ia belajar menerima kegagalan ketika layang-layangnya putus.
Sebelum anak belajar di sekolah, orang tuanya yang lebih dulu harus belajar. Sebab guru pertama bagi setiap anak bukanlah orang lain, melainkan ayah dan ibunya sendiri. Jika fondasi di rumah kuat, maka apa pun nama sekolahnya, anak akan tetap bisa berdiri tegak. Sebaliknya, jika fondasinya rapuh, bahkan gelar dari kampus ternama tak cukup untuk menopangnya.
Tak berlebihan jika John Locke menggambarkan anak sebagai tabula rasa—kertas kosong yang akan ditulis oleh pengalaman awal. Ki Hajar Dewantara pun mengingatkan, “Setiap orang adalah guru, setiap rumah adalah sekolah.” Bila kita sungguh menghayati pesan ini, maka membangun bangsa bukan hanya soal membangun gedung sekolah, melainkan membangun rumah sebagai ruang belajar pertama.
Pendidikan sejatinya bukan soal di mana anak belajar, tapi siapa yang pertama kali membentuk dirinya. Maka sebelum kita bertanya, “Mau kuliah di mana?”, mungkin lebih bijak jika kita mulai bertanya, “Sudahkah rumah menjadi tempat belajar yang aman dan penuh cinta?”
Biodata
Dwi Syuhada atau kerap disapa Disyu, lahir di Kota Parepare kelahiran 2005. Status saat ini sebagai Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Parepare (IAIN Parepare), Program Studi Pendidikan Agama Islam. Penulis yang merupakan kader FLP Parepare ini cukup aktif di media sosial dengan username Instagram: @disyuhda_
Sekolah Pertama Bernama Rumah: Refleksi Glorifikasi Almamater