“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS. Yusuf: 86)
Dari sekian tanda baca dalam hidup, kesedihan barangkali adalah tanda koma, ia tak mengakhiri segalanya, tapi cukup untuk menghentikan sejenak, menata napas. Namun hari ini, banyak dari kita menjadikan kesedihan sebagai titik dua: pertanda akan adanya penjelasan panjang yang disiapkan untuk khalayak.
Kesedihan pun hadir dengan wajah baru: lewat takarir, utas, hingga infografik. Terstruktur. Terbuka. Terlalu rapi, mungkin, untuk sesuatu yang semestinya begitu hening.
Nabi Ya'qub kehilangan Yusuf, putra kesayangannya, tapi ia tak menyampaikan pilu itu kepada dunia. Ia tak menulis surat panjang pada sesama ayah. Ia tak bersajak di depan anak-anaknya. Ia hanya berkata lirih, “Aku hanya mengadukan kesusahan dan kesedihanku kepada Allah.”
Satu kalimat, satu titik. Selesai. Tidak ada titik dua, tidak ada tanda seru. Hanya titik yang berserah.
Di era digital, kita hidup di tengah simfoni keluhan dan duka yang ditransmisikan 24 jam. Linimasa menjadi altar bagi air mata yang disiarkan. Semakin banyak yang membaca, semakin dianggap sembuh.
Padahal, belum tentu. Kadang yang kita butuhkan bukanlah respons dari manusia, melainkan ketenangan dari yang Maha Mendengar.
Mengadu kepada Allah bukan tanda pasrah tanpa upaya. Itu justru bentuk tertinggi dari kepercayaan: bahwa ada ruang yang tak perlu dijamah manusia. Ada jenis kesedihan yang tak butuh dikomentari, hanya perlu dipanjatkan.
Seperti tanda elipsis (...), ia cukup dimengerti sebagai keheningan yang sedang menuju penyembuhan, bukan ajakan untuk dibicarakan.
Dalam budaya oversharing hari ini, kita sering tidak sadar menjadikan kesedihan sebagai identitas. Kalimat-kalimat duka kita susun bukan untuk pemahaman, tapi untuk validasi. Kita bahkan mulai mengatur estetika luka: jenis huruf, nada suara, durasi unggahan.
Luka pun kehilangan kesakralannya.
Mungkin yang perlu kita pelajari dari Ya'qub bukan hanya doanya, tapi diamnya. Bukan hanya air matanya, tapi arah jatuhnya. Ia tahu bahwa tidak semua sedih harus diserukan. Ada jenis tangis yang hanya bisa reda di sajadah, bukan di story. Ada jenis gelisah yang hanya bisa reda dalam sujud, bukan dalam sorot lampu notifikasi.
Kita hidup di zaman yang menuntut semua hal harus diumumkan. Namun, sebetulnya, spiritualitas justru tumbuh dalam hal-hal yang dirahasiakan. Doa, sedekah, dan kesedihan yang tidak diumbar, itulah akar dari keteguhan.
Sudah waktunya kita berhenti menaruh luka di panggung, dan mulai menyimpannya di mihrab. Sebab kesedihan, jika kita tahu arah mengadunya, bisa menjadi jalan pulang, bukan alat promosi.
Catatan:
Tulisan ini pertama-tama adalah renungan untuk diri sendiri, sebab kadang penulis pun lupa, kepada siapa semestinya kesedihan diarahkan. Namun jika ada yang sedang letih, kehilangan, dan mencari tempat paling tenang untuk mengadu, semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat kecil: bahwa Allah senantiasa mendengar, bahkan ketika tak satu pun kata mampu kita ucapkan.
Semoga setiap duka menemukan jalannya, dan setiap doa kembali pulang ke langit yang tak pernah menutup pintu.
Tentang Penulis

Suhartina adalah dosen Bahasa Indonesia di IAIN Parepare , sekaligus Ketua Forum Lingkar Pena Kota Parepare. Penulis adalah pemerhati bahasa. Ia kadang percaya bahwa tak semua kalimat butuh tanda seru, dan tak semua luka perlu disebut-sebut.
Kesedihan: Bukan Titik Dua, Tapi Titik yang Berserah