Pernahkah Anda berpikir bahwa satu tanda baca bisa menentukan apakah Anda disalahpahami atau dipahami? Di tengah dunia yang menyanjung kecepatan lebih dari ketepatan, dan memuja keserbaringkasan tanpa kedalaman, satu tanda baca perlahan menghilang dari permukaan: titik koma. Ia memang tidak mencolok, bahkan nyaris tak terdeteksi; justru dalam kesenyapannya, ia menyelamatkan makna dari kekacauan.
Ini bukan sekadar nostalgia tata bahasa. Ini tentang ruang bernapas yang pelan-pelan lenyap di tengah gelombang tulisan instan dan pikir cepat saji. Titik koma tidak sekadar memberi jeda; ia memulihkan irama berpikir yang diam-diam telah hilang dari kebiasaan menulis kita.
Titik koma adalah jembatan yang menyambungkan dua kalimat utuh dalam satu tarikan napas, bukan titik yang menyuruh berhenti, bukan pula koma yang terlalu ringan untuk menahan beban makna. Jika dianalogikan dengan perasaan, ia seperti jeda sebelum air mata jatuh: bukan karena lemah, tapi karena hati sedang mengumpulkan keberanian untuk bicara lebih dalam.
Para linguis pun memberikan tempat khusus bagi tanda ini, seperti yang dikemukakan David Crystal, "Punctuation has always been as much about rhythm as it is about rules" dan titik koma adalah denyut yang kini sering dilupakan. Wajar bila kehilangan tanda ini tak sekadar soal estetika tulisan, tetapi juga hilangnya cara kita menjaga irama berpikir.
Jangan anggap enteng: ini bukan semata soal gaya menulis; ini menyangkut kejernihan berpikir. Coba perhatikan kalimat berikut!
“Saya mengundang guru, yang ahli dalam bidang bahasa, dan murid-murid yang antusias.”
Kalimat ini bisa memunculkan tafsir berbeda: apakah yang diundang hanya guru? Hanya murid? Atau keduanya? Ketidakjelasan ini muncul karena struktur yang tak cukup tegas.
Bandingkan dengan
“Saya mengundang: guru yang ahli dalam bidang bahasa; murid-murid yang antusias.”
Di sini, titik koma hadir bukan hanya menjaga estetika, tapi juga struktur sintaksis. Ia menghindarkan benturan makna yang terlalu sering muncul (bukan hanya dalam tulisan santai), tapi juga dalam dokumen resmi, pernyataan pejabat, hingga infografik lembaga. Dalam dunia yang serba cepat, salah baca bisa berujung salah tafsir. Anehnya, sering kali kita menyalahkan pembaca, padahal penulisnya yang lupa memberi ruang.
Kadang kita mengira titik koma hanyalah pengganti kata sambung “dan”. Padahal tidak sesederhana itu. Ia tidak sekadar menyambungkan (ia memilah dengan presisi). Bayangkan dua tamu penting datang bersamaan; “dan” akan memperkenalkan mereka dalam satu napas, tanpa perbedaan. Pada konteks ini, titik koma akan menyiapkan ruang: satu untuk guru yang ahli dalam bidang bahasa; satu lagi untuk murid-murid yang antusias. Keduanya hadir, tapi masing-masing dengan keunikan yang tak boleh bercampur.
Titik koma bukan hanya tahu kapan harus berhenti atau lanjut, tapi tahu kapan harus memberi ruang.
Dalam konteks resmi (dokumen kebijakan, pernyataan publik, atau infografik lembaga) ketidakjelasan semacam ini bisa berbuntut panjang. Sering kali, tafsir berbeda memunculkan kebingungan yang memerlukan klarifikasi tambahan. Padahal, banyak kesalahpahaman bisa dicegah jika dari awal penulisannya sudah memberi ruang jeda yang tepat.
Dalam dunia yang makin tergesa, titik koma diam-diam menjaga ketelitian; seperti hati yang memilih diam sejenak agar tiap rasa mendapat tempatnya (tak tumpang tindih ataupun melukai)
Titik koma bukan sekadar tanda baca; ia alat berpikir
Sebelum kita tenggelam terlalu jauh dalam perasaan kehilangan, mari kita hentikan sejenak arus emosi ini, dan melihat: apa sebenarnya fungsi titik koma secara teknis?
Pertama, ia menggantikan kata penghubung seperti dan atau tetapi antara dua kalimat setara:
“Hari sudah malam; anak-anak masih asyik membaca buku.” Ini seperti contoh yang sebelumnya kita bahas.
Kedua, ia menyelamatkan struktur saat daftar memuat koma dalam tiap elemennya:
“Ibu membeli buku, pensil, dan tinta; baju, celana, dan kaos; serta buah-buahan seperti pisang, apel, dan jeruk.”
Ketiga, ia digunakan dalam perincian frasa verbal:
“Ia menyapu halaman; mengepel lantai; dan merapikan rak buku.”
Keempat, dalam dunia akademik, ia menjaga pustaka tetap bernapas:
“(Fishman, 1974; Moeliono, 1985; Samuel, 2008).”
Tanpa titik koma, daftar referensi hanyalah barisan angka yang bisa membuat mahasiswa bingung dan dosen terpaksa pura-pura paham.
Namun kini, titik koma semakin langka. Gaya menulis kini sering seperti emosi yang belum sempat matang: langsung ditumpahkan, tanpa sempat disaring oleh pikiran. Di banyak kelas, tanda baca berhenti pada fungsi mekanis; jarang dibahas sebagai alat bernalar.
Akibatnya, generasi penulis tumbuh seperti perasaan yang langsung meledak tanpa sempat berlabuh (cepat muncul, tapi tak berakar dalam). Semua harus to the point, tanpa ruang untuk meresap atau berbelok. Padahal, seringkali makna justru tumbuh di dalam jeda perasaan; saat hati diberi waktu untuk diam, menata, dan memahami sebelum melanjutkan langkah.
Saya sendiri mengenal titik koma dari novel-novel lama, kalimatnya panjang, kadang rumit, tapi punya irama. Sekarang, kita menulis demi klik, bukan makna. Bahkan sebelum ide matang, kalimat sudah selesai.
Titik koma hadir sebagai penyeimbang. Ia membentuk ritme; menjaga agar tulisan tak terjerembap menjadi sekadar susunan kata. Ia adalah cara untuk berkata, “Tunggu sebentar. Ini belum selesai.”
Sebenarnya, kita tahu betul pentingnya jeda dalam hidup. Kita memberi waktu bagi diri sendiri saat menghadapi kabar sedih, atau menunggu sebelum mengucapkan kata-kata yang benar-benar bermakna. Anehnya, dalam tulisan, kita sering abai akan hal ini.
Mungkin artikel ini terdengar seperti pembelaan terhadap tanda baca yang hampir punah. Namun, bukankah justru yang sunyi sering menyimpan kekuatan paling dalam? Di tengah dunia yang terus diburu oleh kecepatan, titik koma menjadi simbol kecil dari perlawanan terhadap kehilangan makna.
Dunia digital mungkin tak membutuhkan titik koma; tetapi manusia yang ingin tetap berpikir jernih dan merasakan dengan utuh membutuhkannya, sebagai jeda sunyi di tengah riuhnya kata.
Cobalah satu hal pekan ini: gunakan titik koma sekali saja
dalam tulisanmu. Rasakan bagaimana ia memberi ruang, menjaga irama, dan
menciptakan kedalaman. Yang membuat tulisan bernyawa bukan hanya kata-katanya,
tapi juga jeda yang kita beri di antaranya. Seperti hembusan napas yang menenangkan, atau detik sunyi
yang membiarkan perasaan meresap sebelum melangkah pergi, titik koma memberi
ruang bagi makna untuk tumbuh.
Mulailah memberi ruang itu dalam tulisan dan
biarkan pembaca bernapas, berpikir, dan merasakan lebih dalam.
Biodata Penulis
Suhartina, M.Pd., adalah seorang akademisi dan penulis yang aktif dalam bidang Pendidikan Bahasa Indonesia. Selain mengajar, ia juga terlibat dalam berbagai organisasi, termasuk sebagai Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Kota Parepare dan anggota Asosiasi Dosen Bahasa Indonesia Sulawesi Selatan.
Jangan Tinggalkan Titik Koma: Ia Jeda yang Menyelamatkan Nalar