"Apa bikin di Pare? 😶🤣 Semoga penyesalan tidak datang setelah dengar cerita seru teman-temanmu yang KKN di kabupaten lain..."
Kalimat itu terdengar seperti candaan biasa di media sosial. Namun, bagi sebagian mahasiswa yang ditempatkan di kota sendiri, komentar seperti ini bisa menggores diam-diam. Seolah-olah pengabdian harus selalu jauh, dan semakin jauh lokasinya, semakin membanggakan.
Mhh siapa bilang pengabdian harus datang dari tempat yang jauh? Dangkal sekali.
Yang tak banyak orang tahu, sebagian dari mereka memang memilih Parepare. Bukan karena tak ada pilihan lain. Justru karena mereka tahu: di sinilah mereka bisa mulai memberi. Di tanah yang mereka kenal. Di tempat yang selama ini membentuk mereka, tetapi mungkin belum sempat mereka beri sesuatu kembali.
Saya masih ingat betul, salah satu mahasiswa bimbingan saya berkata dengan mata mantap dan suara penuh keyakinan.
"Saya ingin membuktikan, Bu. Meskipun kami KKN-nya dekat, kami akan menunjukkan bahwa kami bisa memberi yang terbaik. Memberi dampak. Bukan sekadar datang, dokumentasi, lalu pulang. Kami ingin masyarakat merasakan bahwa kehadiran kami ada artinya."
Kalimat itu sederhana, tapi saya tahu ia lahir dari pergulatan. Antara keinginan untuk dianggap setara, dengan kenyataan bahwa banyak orang memandang remeh pengabdian di tempat sendiri.
Dari sanalah saya sadar: yang mereka butuhkan bukan lokasi eksotis, tapi ruang untuk diberi kepercayaan. Bahwa pengabdian tidak ditentukan oleh jarak, tapi oleh niat dan kebermanfaatan.
Prof. Azyumardi Azra pernah menyampaikan bahwa pengabdian masyarakat bukan sekadar kewajiban administratif, tapi bentuk keterlibatan intelektual dan emosional mahasiswa dalam menyelesaikan problem sosial secara nyata. Dalam konteks ini, Parepare bukan zona nyaman, ia adalah zona tanggung jawab. Tanah yang membesarkan mereka kini memanggil kontribusi nyata dari mereka.
Allah Swt. berfirman
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Ayat ini menegaskan bahwa kontribusi bukan soal tempat, tapi soal keberanian mengambil peran di mana pun kita berada.
Jika dipikirkan lebih jauh, pengabdian di kota tidak selalu lebih mudah. Di tengah masyarakat urban yang cenderung sibuk, skeptis, dan selektif terhadap perubahan, pendekatan harus lebih kreatif dan komunikatif. Butuh usaha lebih untuk membuka ruang dialog, untuk menumbuhkan kepercayaan, untuk mengajak orang bergerak bersama.
Mereka, mahasiswa itu, anak-anak muda yang katanya “tidak jauh melangkah” ternyata justru berani tinggal dan menghadapi tantangan yang mereka kenal.
Beberapa dari mereka membuka kelas literasi digital untuk ibu-ibu PKK, mendirikan ruang senja untuk anak-anak pinggir pantai yang selama ini tak pernah tersentuh, mereka mengajar anak-anak mengaji, mereka hadirkan senyum di hati anak-anak kota yang sebelumnya sibuk dengan gawai. Ada pula yang menggagas bank sampah berbasis RT, pendampingan UMKM, membuat program bermain sambil belajar bagi anak-anak, les matematika dan membaca, serta budidaya sayur dan obat-obatan. Mereka tidak datang dengan slogan. Mereka datang dengan tindakan.
Mereka tidak datang sebagai tamu. Mereka kembali sebagai bagian dari rumah yang ingin ikut merapikan tata letaknya.
Maka, kepada anak-anakku yang memilih Parepare sebagai tempat KKN, kalian tidak sedang ketinggalan cerita. Kalian sedang menulis cerita kalian sendiri. Cerita tentang bagaimana pengabdian tak harus berjarak. Tentang bagaimana yang dekat bisa menjadi tempat terbaik untuk belajar memberi.
Karena sejatinya, pengabdian bukan tentang ke mana kamu pergi, tapi apa yang kamu tinggalkan.
Jangan biarkan jarak menentukan nilaimu.
Jangan biarkan komentar mengaburkan tujuanmu.
Apa yang kalian lakukan di Parepare bukan sekadar pengabdian biasa, itu adalah keberanian. Keberanian untuk hadir. Untuk bertumbuh. Untuk memberi makna di tanah yang sudah menjadi saksi perjalanan akademik kalian.
Teruslah melangkah, meski tak selalu dilihat.
Teruslah memberi, meski tak selalu dipuji.
Karena kebermanfaatan tak butuh panggung, cukup dikenang dalam perubahan.
Kalian bukan cadangan cerita.
Kalian adalah tokoh utama di panggung yang mungkin tampak biasa, tapi justru di situlah keajaiban bisa tumbuh.
Tetap semangat, Nak. Langit Parepare mungkin sudah akrab di matamu, tapi justru karena itu, langkahmu jadi lebih yakin.
Biodata Penulis
Suhartina, M.Pd. adalah Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN di Kecamatan Soreang, Kota Parepare. Selain aktif mengajar, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan literasi dan organisasi kepenulisan. Saat ini, ia menjabat sebagai Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Kota Parepare dan merupakan anggota Asosiasi Dosen Bahasa Indonesia (ADOBSI) Sulawesi Selatan.
Kami Tidak Jauh, tapi Kami Bergerak