Ada perjalanan yang ditempuh dengan langkah pasti, ada pula yang berliku dengan luka dan air mata. Muhammad Haramain memilih menempuh jalan ilmu, meski harus melewati keduanya. Ia lahir dari pasangan pendidik agama, Abdul Hafidz dan Hj. Qurratul Ain. Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, ia tumbuh di lingkungan madrasah, dikelilingi kitab, doa, dan suara azan. Sejak kecil, ia menyimpan satu mimpi sederhana: menjadi seorang pengajar, menyalakan cahaya sebagaimana kedua orang tuanya menyalakan cahaya ilmu di kelas-kelas sederhana.
Sejak masa kuliah strata satu, jalan yang ia tempuh sudah penuh warna. Ia memilih Prodi Komunikasi Penyiaran Islam di Institut Agama Islam Hamzanwadi, menempuh kuliah pada kelas sore hingga malam. Waktu paginya ia habiskan di Ma’had Darul Qur’an wal Hadis Nahdlatul Wathan Pancor, pesantren yang didirikan oleh TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid, ulama karismatik sekaligus Pahlawan Nasional. Dari kombinasi dunia akademik di kampus dan tradisi keilmuan pesantren inilah terbentuk watak keilmuan Haramain: kokoh dalam nilai tradisi, terbuka pada ilmu modern. Di kampus inilah pula ia mengabdi selepas menyelesaikan studi magister, sebelum melanjutkan kembali perjalanan doktoralnya.
Selepas meraih gelar magister pada Program Pascasarjana Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar tahun 2012, Haramain langsung melangkah ke jenjang doktoral di kampus yang sama. Namun, perjalanan itu sempat terhenti. Baru dua hari berada di Makassar, kabar duka datang: ayahnya wafat. Ia pun pulang ke Lombok Timur, menemani ibunda yang ditinggalkan, sembari mengabdi sebagai dosen di almamater S-1-nya, IAIH Pancor. Peristiwa itu menjadi titik balik, yang membuatnya belajar bahwa ilmu kadang menuntut jeda, dan bahwa pengabdian kepada orang tua adalah bagian dari perjalanan mencari keberkahan.
Pada 2013, sebuah babak baru hadir dalam hidupnya. Pria Sasak ini bertemu jodohnya dengan seorang gadis Makassar di Pangkep, Kurniati Umrah Nur, yang kemudian ia nikahi. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai tiga putra. Kehadiran sang istri bukan hanya melengkapi kehidupannya, tetapi juga menjadi sumber kekuatan: ia yang setia mendampingi, menguatkan ketika semangat menurun, dan sabar menghadapi dinamika perjalanan akademik sekaligus tugas pengabdian sebagai dosen.
Tahun 2014, Haramain kembali melanjutkan kuliah S-3. Setahun kemudian, takdir mempertemukannya dengan amanah baru: ia diangkat sebagai CPNS dosen di IAIN Parepare. Dari sinilah dimulai fase penuh dinamika: antara mengajar mahasiswa, menulis, meneliti, sekaligus berusaha menyelesaikan studi doktoralnya. Namun, ritme kehidupan yang begitu padat membuat fokusnya terpecah, hingga pada 2021 ia harus menerima kenyataan pahit: status akademiknya berakhir dengan mengundurkan diri sebelum drop out.
Bagi sebagian orang, kegagalan 2021 mungkin menjadi titik henti. Namun, tidak bagi Haramain. Di balik perasaan berat, ia menyimpan tekad untuk tidak berhenti di tengah jalan. Pada tahun 2022, ia kembali mengaktifkan status mahasiswa dengan NIM baru, seakan menandai lembaran hidup yang juga baru. Ia kembali menata langkah, lebih hati-hati, lebih sabar, hingga akhirnya hari ini ia sampai di podium Sidang Promosi Doktor.
Di balik kesibukan akademik dan amanah kelembagaan itu, ada sosok yang menjadi penopang dalam diam: Prof. Hannani, Rektor IAIN Parepare. Sehari-hari, Haramain kerap membantu beliau dalam berbagai urusan kampus, hingga sering kali waktunya lebih banyak tersita untuk pekerjaan lembaga daripada untuk dirinya sendiri. Namun, justru di tengah kesibukan itu, Prof. Hannani tidak pernah alpa mengingatkan dengan nada serius—dan kadang diselipi humor satir—bahwa tugas utamanya bukan hanya membantu rektor, melainkan juga “segera jadi doktor.” Gurauan itu sederhana, ia kerap tersenyum getir, sebab memang benar adanya: kadang sang rektor lebih rajin mengingatkan disertasinya ketimbang dirinya sendiri.
Namun, di luar ruang birokrasi kampus, ada pula sosok guru yang sejak masa Ma’had hingga kini tak pernah padam inspirasinya: Tuan Guru Bajang M. Zainul Majdi. Di saat-saat berat menjelang penyelesaian studi, Haramain menerima sebuah pesan singkat darinya—pendek, sederhana, tetapi sarat makna. TGB mendoakan agar perjuangannya “lancar, tuntas, dan membawa manfaat maksimal untuk umat, agama, bangsa, serta Nahdliyyin.” Lalu beliau menutup dengan kalimat yang seakan menjadi cambuk sekaligus pelipur: “Terus bergerak. Ilal amam sir la tubali—melangkahlah maju, jangan pedulikan hambatan.”
Saat membaca pesan itu, hati Haramain bergetar. Ia seakan mendengar kembali suara TGB di ruang-ruang Ma’had bertahun-tahun silam—suara yang menuntun, meneguhkan, dan mendorongnya untuk tidak berhenti. Doa dan nasihat itu menjelma suluh di tengah malam panjang perjuangan, membakar semangat yang sempat redup. Dari Prof. Hannani ia belajar dedikasi dan ketegasan, dari TGB ia menyerap keteguhan spiritual dan semangat pengabdian. Keduanya, dengan cara yang berbeda, menjadi penuntun langkah hingga akhirnya ia tiba di promosi doktor.
Meski sempat terhenti, kiprah akademiknya justru tidak pernah padam. Sejak 2022, ia telah menyandang jabatan fungsional Lektor Kepala-Kum 700, sebuah capaian yang diraih dalam waktu singkat—hanya tujuh tahun sejak pertama kali menjadi CPNS. Itu semua lahir dari konsistensi yang ia jaga: lebih dari sepuluh buku telah ia tulis, puluhan artikel ilmiah ia publikasikan, beberapa di antaranya di jurnal bereputasi internasional. Semua karya itu menjadi saksi bahwa ia tidak pernah benar-benar berhenti menapaki jalan ilmu.
Kini, dengan gelar doktor yang baru disandangnya, Haramain masih mengemban amanah besar. Selain menjabat sebagai Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IAIN Parepare, ia juga aktif menjadi reviewer di berbagai jurnal nasional, termasuk jurnal terindeks Scopus.
Kisah panjang ini menunjukkan bahwa perjalanan seorang penuntut ilmu tidak selalu lurus dan mulus. Ada air mata, ada kehilangan, ada penundaan, tetapi juga ada harapan, kesabaran, dan keberanian untuk bangkit. Gelar doktor yang diraihnya hari ini bukan hanya simbol akademik, melainkan buah dari keteguhan hati untuk tidak menyerah pada keadaan. Bagi Muhammad Haramain, ilmu adalah jalan pengabdian, dan cita-cita masa kecilnya untuk menjadi seorang pengajar tetap ia jaga hingga kini, menjadi pembelajar sepanjang hidup.
Pada akhirnya, capaian ini bukan hanya miliknya seorang. Ia tahu betul, tanpa doa ibunda, tanpa keteladanan almarhum ayahanda, tanpa kesetiaan istri tercinta, serta tanpa tawa dan doa ketiga putra kecilnya, langkah ini mungkin tidak akan pernah sampai. Gelar doktor yang ia sandang hari ini adalah persembahan sederhana untuk keluarganya, yang menjadi sumber kekuatan, alasan untuk terus melangkah, dan rumah, tempat segala perjalanan kembali bermuara.
Dari Madrasah ke Promosi Doktor: Kilas Perjalanan Akademik Muhammad Haramain