Pada momentum Rapat Koordinasi Peningkatan Tata Kelola PTKIN di Jakarta, Jumat, 15 Agustus 2025, Anregurutta Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A, Menteri Agama RI, memberikan nasihat yang mendalam tentang arah pendidikan tinggi Islam. Beliau menekankan bahwa seorang akademisi sejati tidak boleh puas sekadar menjadi penyampai data atau pengumpul publikasi. Ia dituntut naik derajat: menjadi pewaris sifat Allah, yakni Rububiyyah dan Uluhiyyah. Kedua sifat ini bukan sekadar istilah teologis, melainkan prinsip pedagogis yang harus hadir dalam ruang kelas, penelitian, dan seluruh kehidupan akademik.
Rububiyyah: Ilmu sebagai Asuhan dan Pertumbuhan
Rububiyyah adalah sifat Allah yang menumbuhkan, mendidik, dan memelihara. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Miftaḥ Dār al-Sa‘ādah menegaskan: Allah disebut Rabb karena Dialah yang menumbuhkan hamba-hamba-Nya hingga sempurna. Dari sini seorang akademisi belajar: tugasnya bukan hanya mentransfer pengetahuan, melainkan menumbuhkan manusia.
Howard Gardner dalam Frames of Mind (1983) dengan teori Multiple Intelligences menekankan bahwa setiap individu memiliki kecerdasan berbeda—linguistik, musikal, interpersonal, kinestetik, dan lain-lain. Akademisi yang mewarisi sifat Rububiyyah akan sabar menuntun mahasiswa sesuai fitrah dan potensinya, bukan menyeragamkan, melainkan membesarkan keragaman.
Hal yang sama diingatkan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970): pendidikan tidak boleh menjadi “banking system” yang hanya menjejali otak, tetapi harus dialogis, membebaskan, dan menumbuhkan kesadaran. Inilah hakikat Rububiyyah seorang akademisi: membina jiwa, bukan sekadar mengisi pikiran.
Ulūhiyyah: Ilmu sebagai Jalan Ibadah
Ulūhiyyah adalah pengakuan bahwa hanya Allah yang layak disembah. Dalam konteks pendidikan, hal ini berarti akademisi harus menegakkan orientasi spiritual dalam setiap aktivitas ilmiahnya. Al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn memperingatkan: ulama yang tidak mengaitkan ilmunya dengan ibadah hanyalah “ulama dunia”, yang kelak ilmunya menjadi hujjah atas dirinya.
Di era modern, Tony Wagner dalam The Global Achievement Gap (2008) menyebut tujuh keterampilan abad ke-21, salah satunya curiosity and imagination. Namun, rasa ingin tahu yang tidak terhubung dengan Ulūhiyyah akan menghasilkan ilmu yang kering dan kehilangan arah. Akademisi Rabbani menjadikan setiap penelitian, pengajaran, dan tulisan sebagai ibadah—bukan sekadar demi angka kredit, melainkan demi mencari rida Allah. Dengan demikian, Ulūhiyyah mengajarkan bahwa ilmu bukan berhala baru yang dipuja, tetapi jalan menuju pengabdian kepada Sang Maha Benar.
Akademisi Rabbani: Sintesis Spiritualitas dan Intelektualitas
Ketika sifat Rububiyyah dan Ulūhiyyah dipadukan, lahirlah akademisi Rabbani. Ia tidak hanya menumbuhkan akal, tetapi juga membimbing hati. Ia tidak sekadar mengasah keterampilan abad ke-21, tetapi juga mengikatnya dengan tauhid.
Sebagaimana ditegaskan Nurcholish Madjid dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (1987), pendidikan Islam sejati adalah membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan selain kepada Allah. Akademisi Rabbani adalah agen pembebasan: membebaskan dari kebodohan, dari hegemoni materialisme, sekaligus membimbing menuju penghambaan yang benar.
Maka mari bertanya: apakah kampus kita hanya melahirkan sarjana pencari kerja, ataukah melahirkan manusia Rabbani yang memadukan kecerdasan intelektual dengan kekhusyukan spiritual? Apakah kita hanya mengejar publikasi, ataukah kita juga menanamkan nilai pengabdian?
Ya Allah, jadikanlah kami akademisi yang mewarisi sifat Rububiyyah-Mu dalam mendidik, dan Ulūhiyyah-Mu dalam mengabdi. Jangan biarkan ilmu kami menjadi berhala duniawi, tetapi jadikanlah ia tangga menuju keridhaan-Mu.
Akademisi Rabbani: Mewarisi Rububiyyah dan Uluhiyyah Allah