Kampus, yang seharusnya menjadi rumah ilmu, kini sering tampak seperti rumah tinggal. Di beberapa sudutnya, pakaian dijemur, alat masak berjejer, dan bungkus makanan berserakan. Sekilas sepele, tapi sesungguhnya menyingkap hal yang lebih dalam: pudarnya kesadaran kolektif tentang makna ruang publik dan tanggung jawab sosial sebagai insan terdidik.
Kebersihan kampus bukan semata urusan petugas atau tata kelola fasilitas. Ia adalah cermin komunikasi nilai antara mahasiswa, dosen, dan pengelola lembaga. Di ruang yang mestinya melahirkan ide dan karakter, justru tumbuh tanda-tanda lemahnya kontrol sosial dan hilangnya rasa malu bersama. Seperti diingatkan Erving Goffman, citra sosial seseorang terbentuk dari “penampilan” di ruang publik. Maka ketika perilaku di kampus tak lagi mencerminkan etika akademik, yang tercoreng bukan hanya individu, melainkan wajah lembaga tempat ia menuntut ilmu.
Fenomena ini memperlihatkan jarak antara nilai yang diajarkan dan perilaku yang dijalankan. Di kampus keagamaan, masalah kebersihan bahkan menyentuh ranah spiritual. Islam menegaskan, an-nadhafatu minal iman — kebersihan adalah bagian dari iman. Karena itu, ketika ruang akademik kotor dan tak terawat, yang ternoda bukan sekadar lantai atau taman, melainkan juga kredibilitas moral dakwah itu sendiri.
Masalah seperti ini tak bisa diselesaikan hanya dengan surat edaran atau hukuman administratif. Ketakutan mungkin tumbuh, tapi kesadaran tak akan lahir. Kesadaran tumbuh dari komunikasi empatik, keteladanan moral, dan pembiasaan yang konsisten. Mengubah perilaku tak cukup dengan otoritas; dibutuhkan pengaruh moral yang hidup.
Pierre Bourdieu menyebut habitus sebagai struktur sosial yang tertanam dan direproduksi melalui kebiasaan. Kebersihan kampus semestinya menjadi bagian dari habitus akademik—dilakukan tanpa diperintah, karena menjadi refleks kesadaran moral. Namun habitus ini tak akan tumbuh tanpa contoh dan pembiasaan dari para dosen, pengelola, dan mahasiswa sendiri. Mereka perlu membangun budaya akademik yang berakar pada sense of belonging: bahwa menjaga kampus berarti menjaga marwah ilmu.
Dalam konteks lokal, kita sesungguhnya kaya akan etika sosial. Nilai Bugis seperti sipakatau (saling memanusiakan), sipakainge (saling mengingatkan), dan sipakalebbi (saling menghargai) seharusnya hidup di ruang akademik. Jika nilai ini benar-benar dihidupkan, mahasiswa tak akan menjemur pakaian di taman kampus atau membuang sampah sembarangan tanpa rasa sungkan. Gotong royong membersihkan kampus pun akan menjadi tindakan kecil yang memulihkan martabat bersama.
Di era media sosial, wajah kampus tak lagi berhenti di pagar institusi. Ia bisa tersebar dalam hitungan detik—baik dalam bentuk kebanggaan, maupun aib yang viral. Foto lingkungan kotor atau perilaku mahasiswa yang tak tertib dapat mencoreng reputasi lembaga yang dibangun bertahun-tahun. Karena itu, menjaga kebersihan kampus bukan hanya tindakan moral, melainkan juga strategi reputasi. Citra dakwah kini dibangun bukan sekadar lewat mimbar atau seminar, tetapi juga lewat perilaku sehari-hari—bahkan dari cara kita memperlakukan ruang belajar.
Kampanye sederhana bertema “Kampusku Cermin Diriku” layak digaungkan. Ia mengajak setiap mahasiswa melihat perilakunya di kampus sebagai pantulan karakternya sendiri. Jika ia menjaga ruang kuliah tetap bersih, ia sedang menjaga harga diri. Jika ia membuang sampah sembarangan, yang kotor bukan hanya lingkungan, tetapi juga nuraninya. Kampanye ini bukan sekadar slogan, melainkan seruan untuk menata ulang kesadaran: wajah kampus adalah cermin akhlak para penghuninya.
Kebersihan kampus adalah wajah dari peradaban ilmu. Ia menguji sejauh mana kita memahami hubungan antara iman, adab, dan tanggung jawab sosial. Kampus yang bersih bukan semata karena petugas kebersihan yang rajin, melainkan karena penghuninya berhati bersih dan berempati. Saat kesadaran itu tumbuh, kampus akan kembali pada hakikatnya: ruang ilmu yang beradab, tempat belajar menjadi manusia—bukan hanya sarjana.
Wajah Kampus, Cermin Kesadaran Sosial