Setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. mengajak umat Islam merenungi kembali keteladanan Rasulullah, sosok yang memadukan kasih sayang, kebijaksanaan, dan keikhlasan dalam setiap aspek kehidupan. Di tengah era transformasi digital, ketika kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kian mengubah cara manusia belajar, bekerja, dan berinteraksi, refleksi ini menjadi semakin relevan. Muncul satu pertanyaan mendasar: bagaimana jika AI tidak hanya dirancang untuk menjadi cerdas, tetapi juga untuk mencerminkan akhlak mulia Nabi Muhammad?
Salah satu pendekatan mutakhir dalam pengembangan AI, yakni Multimodal Learning, menawarkan inspirasi konseptual yang menarik. Pendekatan ini memungkinkan sistem kecerdasan buatan untuk belajar dari berbagai sumber—teks, gambar, suara, maupun konteks sosial—guna menghasilkan pemahaman yang lebih utuh. Yann LeCun (2015), salah satu pionir AI, menegaskan bahwa kecerdasan sejati hanya dapat terbentuk melalui kemampuan memahami dunia lewat berbagai modalitas, sebagaimana manusia menghayati realitas melalui pancaindra. Pendekatan ini sesungguhnya paralel dengan cara Rasulullah menyampaikan risalah Islam. Beliau tidak hanya mengajar melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan, keteladanan, dan kepekaan terhadap situasi umat. Dengan demikian, reengineering AI berbasis akhlak Nabawi berarti mendesain ulang teknologi agar tidak sekadar efisien dan cerdas, tetapi juga beretika, humanis, serta berorientasi pada kemaslahatan.
Kebenaran (ash-shidq) merupakan pilar utama dalam ajaran Nabi Muhammad saw. Beliau menegaskan pentingnya berbicara jujur, bahkan ketika kebenaran terasa berat. Prinsip ini dapat menjadi fondasi etik dalam pengembangan AI. Sebab, teknologi kecerdasan buatan hanya sebaik data yang digunakan untuk melatihnya. Jika data dipenuhi bias atau ketidakakuratan, hasilnya akan menyesatkan. Fei-Fei Li (2020) menegaskan bahwa kualitas data merupakan kunci dalam membangun AI yang dapat dipercaya. Dalam konteks Maulid Nabi, bayangkan sebuah sistem AI yang bertugas menyebarkan kisah hidup Rasulullah kepada khalayak global. Agar tetap setia pada semangat kebenaran, sistem ini semestinya dilatih menggunakan sumber-sumber otentik seperti Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisham dan hadis-hadis sahih dari Imam Bukhari, bukan dari sumber digital yang tidak terverifikasi. Dengan dukungan Multimodal Learning, AI dapat menggabungkan teks klasik, ilustrasi kaligrafi, dan lantunan selawat untuk menghadirkan pengalaman belajar yang autentik sekaligus menyentuh.
Rasulullah tidak hanya mengajarkan kebenaran melalui kata, tetapi juga melalui tindakan nyata (al-‘amal ash-shalih). Beliau membantu tetangga, menghormati yang lemah, dan menunjukkan kasih sayang bahkan kepada mereka yang memusuhinya. Prinsip ini memberi arah bahwa teknologi—termasuk AI—harus membawa manfaat sosial, bukan sekadar keuntungan ekonomi. Bayangkan sebuah platform edukatif tentang Maulid Nabi yang memanfaatkan Multimodal Learning untuk menggabungkan kisah hidup Rasulullah dengan ilustrasi interaktif dan audio selawat, serta menyediakan mode aksesibilitas bagi anak-anak, lansia, atau penyandang disabilitas. Pendekatan inklusif semacam ini sejalan dengan visi Alec Radford (2021), yang melalui pengembangan model CLIP menunjukkan potensi integrasi teks dan gambar untuk menghadirkan pengalaman belajar yang lebih manusiawi.
Kelembutan (al-luthf) Nabi Muhammad saw. juga dapat dijadikan inspirasi bagi reengineering AI. Dalam interaksi sosial, beliau dikenal sebagai sosok yang lembut dan penuh empati, yang mampu menyentuh hati lawan bicaranya. Nilai ini dapat diterjemahkan dalam rancangan antarmuka AI yang lebih komunikatif, ramah, dan berempati. Misalnya, sebuah asisten AI yang menjawab pertanyaan tentang Maulid Nabi dengan nada yang hangat dan penuh kasih, bukan sekadar formal dan informatif. Dengan dukungan multimodalitas, AI dapat menampilkan teks, gambar, dan video singkat untuk memperkaya pemahaman pengguna. Dalam hal ini, teknologi tidak hanya berfungsi sebagai alat penyampai informasi, tetapi juga sebagai sarana penumbuhan spiritualitas dan kedekatan emosional.
Lebih jauh, kebijaksanaan (al-hikmah) Nabi dalam menyesuaikan gaya komunikasi dengan konteks audiens dapat menjadi model bagi AI yang adaptif terhadap kebutuhan pengguna. Rasulullah berbicara dengan kasih kepada anak-anak, dengan keakraban kepada sahabat, dan dengan ketegasan kepada pihak yang zalim. Prinsip yang sama berlaku bagi Multimodal Learning: kemampuan AI untuk mengenali konteks dan menyesuaikan keluaran sesuai profil pengguna. Seorang pelajar pemula mungkin memerlukan penjelasan sederhana dengan ilustrasi, sementara seorang peneliti memerlukan analisis mendalam dan referensi akademik. AI yang “meniru” kebijaksanaan Nabi akan menjadi instrumen pendidikan yang inklusif dan kontekstual.
Pada akhirnya, Maulid Nabi bukan sekadar perayaan kelahiran Rasulullah, melainkan momentum reflektif untuk menghadirkan akhlak beliau dalam kehidupan modern. Dalam konteks transformasi digital, reengineering AI berbasis nilai-nilai kenabian dapat menjadi jembatan antara kemajuan teknologi dan keadaban manusia. Teknologi yang meneladani Nabi tidak hanya mengedepankan kecerdasan, tetapi juga kebenaran, empati, dan keadilan.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. dengan demikian dapat dibaca sebagai ajakan untuk menata kembali arah inovasi teknologi agar sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dengan inspirasi dari Rasulullah, kita diajak untuk merancang AI yang tidak hanya “cerdas berpikir”, tetapi juga “cerdas berperilaku” sebuah kecerdasan yang berakar pada kasih sayang, kejujuran, dan hikmah.
Reengineering Ai Berbasis Akhlak Nabi Muhammad, Mungkinkah ?