Manajemen pengelolaan Perguruan Tinggi Islam, baik negeri maupun swasta, saat ini berada dalam persimpangan antara keharusan memenuhi standar akreditasi dan kebutuhan mendesak untuk membangun daya saing global. Akreditasi yang sejatinya dirancang sebagai mekanisme penjaminan mutu minimum telah berubah menjadi tujuan akhir. Predikat akreditasi menjadi simbol prestise institusional, namun sering kali tidak berbanding lurus dengan mutu proses pembelajaran, atmosfer riset, maupun kontribusi sosial-keagamaan lembaga. Tulisan ini menawarkan reposisi paradigma mutu dari orientasi kepatuhan administratif menuju orientasi kinerja dan dampak, dengan SPMI sebagai motor utama transformasi.
Selama tiga dekade, praktik pengelolaan PTAIN/PTAIS terjebak dalam budaya mutu berbasis dokumen. Energi institusi tersedot untuk memenuhi persyaratan akreditasi: laporan yang rapi, lampiran yang lengkap, publikasi yang dikejar demi angka, bukan demi kontribusi. Kondisi ini melahirkan anomali: institusi dengan nilai akreditasi “Unggul” tetapi belum mampu menghadirkan lulusan yang responsif, adaptif, dan kompetitif di pasar kerja maupun ruang pengabdian sosial-keagamaan. Karena itu, akreditasi perlu ditempatkan sebagai baseline, bukan puncak pencapaian.
Transformasi mutu menuntut pergeseran dari model Compliance Quality Management (C-QM) menuju Performance & Impact Quality Management (PI-QM). SPMI harus dilihat bukan sebagai instrumen audit, tetapi sebagai siklus inovasi berkelanjutan melalui PPEPP—yang tidak berhenti pada dokumentasi, tetapi berujung pada kompetensi lulusan, relevansi kurikulum, kualitas proses belajar, dan nilai tambah institusional. Dengan demikian, ukuran mutu tidak lagi semata-mata mengikuti parameter BAN-PT atau LAM, tetapi diperluas melalui indikator daya saing yang relevan dengan identitas PTAIN/PTAIS: keunggulan berbasis nilai keislaman, kontekstualitas keilmuan, dan kearifan lokal.
Perbaikan mutu membutuhkan realokasi anggaran dan reposisi prioritas. Anggaran besar yang selama ini dipakai untuk seminar persiapan akreditasi, konsultan, dan cetakan dokumen perlu dialihkan pada peningkatan kapasitas dosen dan tenaga kependidikan. Pelatihan pedagogi kontemporer, skema sabbatical, insentif riset internasional, dan modernisasi infrastruktur digital merupakan investasi yang jauh lebih berdampak bagi transformasi mutu. Manajemen digital yang efisien memungkinkan institusi bergerak lebih adaptif dan responsif.
Daya saing institusi juga bergantung pada kurikulum yang lincah, terhubung dengan ekosistem industri dan kebutuhan masyarakat. Program Merdeka Belajar harus benar-benar memberi pengalaman autentik bagi mahasiswa di luar kampus, bukan sekadar formalitas. Soft skill berbasis nilai-nilai Islam harus berjalan seiring dengan penguasaan keilmuan dan teknologi, sehingga lulusan bukan hanya kompeten, tetapi juga memiliki integritas moral dan etika profesional.
Dalam ranah riset, fokus harus bergeser dari kuantitas publikasi menuju High-Impact Research (HIR). Penelitian harus memberi manfaat nyata bagi industri, pemerintah, dan masyarakat. Hilirisasi riset, model pembelajaran inovatif, serta textbook otoritatif dari dosen senior menjadi tolok ukur efektivitas akademik yang sesungguhnya.
Pada saat yang sama, pengalaman dosen senior dan guru besar harus direposisi—dari yang selama ini “dilayani” menjadi pihak yang “melayani”. Mereka tidak cukup ditempatkan pada jabatan simbolik, melainkan menjadi motor pembina mutu, mentor strategis, dan pengarah riset. Peran ini bukan hanya mengoptimalkan kapasitas mereka, tetapi juga memastikan terjadinya regenerasi keilmuan yang sehat.
Dengan paradigma baru tersebut, indikator mutu institusi harus digeser dari metrik administratif menuju indikator kinerja dan dampak, seperti employability rate, hilirisasi riset, indeks integritas lulusan, kepuasan mitra industri, dan kontribusi sosial-keagamaan yang terukur. Inilah indikator yang akan membedakan PTAIN/PTAIS dari perguruan tinggi lain.
Pada akhirnya, revisi manajemen mutu PTAIN dan PTAIS bukan sekadar kebutuhan teknokratis, tetapi tuntutan zaman. Transformasi mutu dari C-QM menuju PI-QM adalah langkah strategis untuk membebaskan institusi dari ketergantungan pada prestasi akreditasi yang statis. Daya saing sejati tidak ditentukan oleh skor akreditasi, tetapi oleh kualitas proses yang hidup: mahasiswa yang tumbuh, riset yang berdampak, nilai Islam yang membumi, dan kontribusi institusi bagi kehidupan sosial-keagamaan. Jika itu tercapai, akreditasi akan mengikuti—bukan dikejar.
Wallahu A’lam.
(-mahjuf-)
Tindakan Solutif Manajemen Pengelolaan PTAIN/PTAIS Berdaya Saing Tinggi (Mereduksi Nilai Prestasi Akreditasi PT)