Skip ke Konten

Meninjau Ulang Logika tentang Akreditasi dan Publikasi

Suhartina (Kepala Pusat Publikasi dan Penerbitan)
29 November 2025 oleh
Meninjau Ulang Logika tentang Akreditasi dan Publikasi
Suhartina
| Belum ada komentar

Subuh tadi saya membaca sebuah artikel opini dari salah satu kolega dosen yang meminta naskahnya diedit sebelum dipertimbangkan untuk terbit. Tulisannya menarik— tajam, kritis, provokatif dalam kadar yang sehat—tetapi ada beberapa bagian yang menurut saya perlu diluruskan agar tidak membentuk kesimpulan yang tergesa dan tidak proporsional. Meski begitu, saya tetap menerbitkannya. Bukan karena saya sepakat sepenuhnya, tetapi karena setiap gagasan yang lahir dari ruang akademik layak diuji, bukan dibungkam; dibahas, bukan disisihkan. Di situlah ilmu menemukan martabatnya.

Saya memahami kegelisahan penulis: akreditasi sering kali terasa seperti ritual administratif yang menghabiskan energi, sumber daya, dan waktu. Namun di bagian tertentu—terutama ketika menyebut publikasi ilmiah hanya berakhir sebagai arsip digital—argumen itu terasa tergesa-gesa dan jatuh pada kesalahan logika generalisasi berlebihan. Seakan-akan seluruh ekosistem publikasi di kampus Islam hanya menjadi formalitas tanpa manfaat real.

Padahal publikasi bukan sekadar pelengkap borang akreditasi, bukan pula sekadar tiket kenaikan jabatan fungsional. Publikasi adalah bagian dari tradisi keilmuan Islam itu sendiri. Sejak era klasik, ulama menjaga ilmu melalui tadwīn, taḥqīq, riwāyah, dan dirāyah yang dalam istilah akademik modern kita kenal sebagai dokumentasi ilmiah, verifikasi metodologis, dan diseminasi pengetahuan.

Tanpa dokumentasi akademik, ilmu kehilangan modalitas untuk diuji, dikritisi, diturunkan, diperbaiki, dan dilanjutkan. Ilmu yang hanya hidup di ruang kelas akan hilang bersama ingatan; sementara ilmu yang tertulis akan hidup lebih panjang dari pengajarnya.

Memang benar, tidak semua publikasi berdampak langsung pada kebijakan publik atau inovasi industri. Namun argumen bahwa publikasi tidak relevan karena belum digunakan adalah reduksi yang kurang adil. Dampak ilmu tidak selalu instan. Sebagian riset menjadi pondasi teori (long-term impact), sebagian menjadi basis pembelajaran, dan sebagian memang langsung dapat dihilirisasi. Tidak semua riset harus menjadi kebijakan publik agar dianggap bernilai; ilmu juga bekerja melalui proses kumulatif, bukan sekadar hasil final.

Jika ada riset yang belum memberi manfaat, persoalannya bukan pada publikasinya, melainkan pada jejaring research-to-policy, kerja sama industri, dan budaya apresiasi terhadap sains di institusi kita. Dengan kata lain, masalahnya bukan pada produk, tetapi pada ekosistem pemanfaatan.

Dalam konteks akreditasi, publikasi bukan idola baru, tetapi indikator bahwa kampus masih bernapas secara ilmiah. Kampus yang tidak mempublikasikan riset perlahan akan kehilangan relevansi global dan hanya menjadi lembaga pengajaran, bukan lembaga ilmu pengetahuan.

Maka, daripada memosisikan publikasi sebagai kambing hitam birokrasi, mungkin lebih tepat jika kita memaknainya sebagai ruang perjuangan: medan di mana dosen diuji ketekunan metodologisnya, mahasiswa dilatih berpikir sistematis, dan kampus membangun identitas ilmiahnya.

Akhirnya, kritik terhadap akreditasi itu penting, bahkan perlu. Namun kritik juga membutuhkan kehati-hatian agar tidak mengorbankan prinsip epistemik yang justru menjadi dasar keberlangsungan pendidikan tinggi.

Jika akreditasi adalah sistem mutu, maka publikasi adalah jejak intelektual. Keduanya bukan musuh esensi pendidikan, tetapi bagian dari ekosistem yang menuntut kita lebih jujur bekerja, lebih serius meneliti, dan lebih bertanggung jawab dalam menjaga warisan keilmuan yang telah dibangun para pendahulu.

Karena pada akhirnya yang dipertanyakan bukan: Apakah kampus unggul di atas kertas?

Namun: Apakah kampus masih menghasilkan ilmu yang layak diwariskan?

di dalam Opini Dosen
Meninjau Ulang Logika tentang Akreditasi dan Publikasi
Suhartina 29 November 2025
Share post ini
Label
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar