Perceraian kini menjadi berita yang akrab di telinga kita, baik dari media massa maupun media sosial. Ada fenomena perempuan yang menggugat cerai setelah memiliki kemandirian ekonomi, ada pula suami yang mudah melafalkan talak seakan itu jalan pintas dari masalah rumah tangga. Padahal, yang sesungguhnya terjadi sering kali hanyalah ledakan emosi yang menyisakan luka mendalam, terutama bagi anak-anak. Generasi penerus bangsa yang seharusnya tumbuh dalam kasih sayang justru dirundung trauma akibat keretakan rumah tangga orang tuanya.
Padahal, ikatan perkawinan adalah ikatan suci yang dalam Al-Qur’an disebut mitsāqan ghalīẓan (perjanjian yang kokoh). Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mendefinisikannya sebagai ikatan lahir batin untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahkan menegaskan nilai ibadah di dalamnya. Tujuannya jelas, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Rūm [30]:21: “Litaskunū ilaihā wa ja‘ala bainakum mawaddatan wa raḥmah”—agar tercipta ketenangan, cinta, dan kasih sayang.
Ironisnya, data Pengadilan Agama menunjukkan tren meningkatnya perceraian, terutama cerai gugat dari pihak istri. Fakta ini mencerminkan adanya pergeseran sosial: meningkatnya kesadaran hukum perempuan, kemandirian ekonomi, hingga tuntutan kesetaraan dalam rumah tangga. Dari perspektif sosiologi hukum Islam, perkawinan tidak hanya ikatan privat antara suami-istri, melainkan pranata sosial yang menopang peradaban. Ketika rumah tangga rapuh, yang terguncang bukan hanya pasangan, tetapi juga anak-anak, keluarga besar, bahkan masyarakat. Itulah mengapa hukum Islam menempatkan perkawinan sebagai sarana menjaga agama (ḥifẓ al-dīn), menjaga keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan menjaga kehormatan (ḥifẓ al-‘ird).
Di sinilah keteladanan Rasulullah saw. menemukan relevansinya. Rumah tangga beliau adalah potret sederhana yang penuh cahaya. Aisyah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah membantu pekerjaan rumah, memerah susu kambing, menjahit sandal, dan menambal pakaian. Beliau juga romantis: pernah mengajak Aisyah lomba lari, bahkan minum dari tempat yang sama dengan istrinya. Ketika Aisyah cemburu sampai memecahkan piring berisi makanan, Rasulullah menanggapinya dengan senyum bijak sambil berkata, “Ibumu sedang cemburu.” Sungguh teladan rumah tangga yang berlandaskan kasih sayang, kesabaran, dan pengendalian emosi.
Ketahanan rumah tangga jelas tidak bisa dipandang remeh. Dalam era media sosial yang sarat godaan, rumah tangga yang rapuh akan mudah terombang-ambing. Karena itu, solusi harus konkret: edukasi pranikah agar calon pasangan memahami hak dan kewajiban sejak awal; penguatan mediasi keluarga di Pengadilan Agama maupun di tingkat komunitas; serta peran aktif tokoh agama dan lembaga pendidikan untuk membimbing umat. Dengan begitu, hukum Islam tidak berhenti pada teks, melainkan hadir sebagai solusi sosial yang membumi.
Rasulullah saw. adalah sosok multitalenta: negarawan, panglima, guru, sekaligus kepala keluarga yang penuh kasih. Allah menegaskan: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada pada akhlak yang agung” (QS. Al-Qalam [68]:4). Tak heran jika penulis Barat Michael H. Hart menempatkan Nabi Muhammad saw. di posisi pertama dalam daftar tokoh paling berpengaruh dalam sejarah dunia.
Meneladani rumah tangga Rasulullah saw. bukan sekadar kewajiban religius, tetapi juga kebutuhan sosial. Sebab, dari rumah tangga yang sehat lahirlah masyarakat yang kokoh. Setiap aktivitas kecil di rumah—mengurus anak, memberi nafkah, melayani pasangan, jika diniatkan karena Allah, akan bernilai ibadah. Di tengah badai modernitas, keteladanan Rasulullah adalah mercusuar yang menuntun keluarga Muslim menuju keutuhan dan keberkahan.
Parepare, 15 September 2025
Teladan Rumah Tangga Rasulullah Saw.: Inspirasi Ibadah, Hukum, dan Sosial