Skip ke Konten

Rahasia Tenang di Era Digital (Dua Kata, Ikhlas dan Syukur)

Prof. Dr. Hannani, M. Ag. (Rektor IAIN Parepare)
23 November 2025 oleh
Rahasia Tenang di Era Digital (Dua Kata, Ikhlas dan Syukur)
Admin
| Belum ada komentar

 

الإخلاصُ والشُّكرُ يُودِعانِ في القلوبِ سكينةً ورِضًا وقَناعةً

(Ikhlas dan syukur menitipkan ketenangan (sakinah), kerelaan (ridha), dan rasa cukup (qana‘ah)

 

Di tengah tekanan ekonomi, tuntutan pekerjaan, dan budaya pamer di media sosial, masyarakat kita hidup dalam suasana batin yang kian gelisah. Banyak orang merasa tidak cukup, tertinggal, bahkan terasing dari dirinya sendiri. Pada saat seperti ini, ajaran para sufi kembali menemukan relevansinya: ikhlas (ketulusan niat) dan syukur (rasa terima kasih) sebagai dua fondasi ketenangan di tengah hiruk-pikuk zaman. Ungkapan sufistik “al-ikhlāṣu wa asy-syukru yūdi‘āni fīl-qulūbi sakīnah wa riḍā wa qanā‘ah” ikhlas dan syukur menitipkan ketenangan (sakinah), kerelaan (ridha), dan rasa cukup (qana‘ah) dalam hati menggambarkan bagaimana dua nilai ini bekerja pada lapisan terdalam diri manusia. Dengan ikhlas dan syukur, hati memperoleh ketenteraman yang tak tergantung situasi eksternal

.

Ikhlas di Era Validasi Digital

Al-Junayd al-Baghdadi (w. 910 M) mendefinisikan ikhlas sebagai “melupakan pandangan makhluk dan memandang hanya kepada al-Ḥaqq (Allah)”. Artinya, orang yang ikhlas beramal tanpa mengharapkan pengakuan atau pujian dari manusia. Namun di era digital, hampir semua hal diukur dari jumlah like, komentar, hingga penonton. Kita tak hanya ingin bekerja, tetapi ingin terlihat bekerja; tak hanya ingin berbuat baik, tetapi ingin terlihat baik di mata orang lain. Fenomena self-branding dan kebutuhan akan validasi digital ini menjadikan niat mudah tercemari oleh motivasi eksternal.

Psikologi modern menegaskan hal ini, self-Determination Theory yang dikembangkan Edward Deci & Richard Ryan menunjukkan bahwa motivasi eksternal,  misalnya dorongan mendapatkan pengakuan, pujian, atau penghargaan dari luar, cenderung membuat seseorang lebih rentan cemas dan mudah kehilangan arah. Penelitian konsisten menemukan bahwa berfokus pada target-target ekstrinsik (seperti popularitas atau imaji diri) berhubungan dengan kesejahteraan psikologis yang lebih rendah, termasuk tingkat kecemasan dan ketidakpuasan yang lebih tinggi. Sebaliknya, tindakan yang bersumber dari motivasi intrinsik atau niat murni cenderung menghasilkan stabilitas emosi dan kesejahteraan yang lebih baik. Dengan kata lain, ketika kita beramal atau berkarya karena dorongan hati yang tulus bukan demi terlihat hebat oleh orang lain, kita lebih tahan terhadap gangguan kecemasan dan stres sosial.

Para sufi telah lama memahami dinamika ini. Ibn ‘Aṭā’illah dalam Kitab al-Ḥikam menulis pepatah bijak: “Amal yang keluar dari hati yang ingin dilihat manusia adalah hijab (penghalang); amal yang keluar dari hati yang ikhlas adalah cahaya.” Maksudnya, perbuatan yang dilakukan demi riya’ (ingin dipuji makhluk) justru menghalangi pelakunya dari rahmat Allah, sementara perbuatan yang ikhlas akan menerangi hati. Ikhlas menjelma “ruang teduh” bagi jiwa – tempat seseorang tidak mudah tumbang oleh tekanan sosial. Sebagaimana dikatakan Al-Fuḍail bin ‘Iyāḍ, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, melakukan amal karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” Dengan ikhlas, kita terbebas dari belenggu penilaian manusia, sehingga batin lebih mantap dan tenang.


Syukur sebagai Penawar Budaya Membandingkan

Menurut Imam Al-Ghazālī, syukur terdiri atas tiga hal pokok: ilmu, ḥal, dan ‘amal. Pertama, ilmu yaitu mengenali nikmat dan menyadari sepenuh hati bahwa setiap karunia berasal dari Allah semata (bukan semata hasil jerih payah diri). Kedua, ḥal yaitu keadaan emosional berupa kegembiraan dan kepuasan atas nikmat tersebut lawan dari terus merasa kurang. Ketiga, ‘amal yaitu menggunakan nikmat itu sesuai tujuan yang diridai Allah, yakni untuk kebaikan dan ketaatan, bukan disalahgunakan. Dengan kata lain, bersyukur berarti mengakui nikmat, mengakui Sang Pemberi nikmat, dan mempergunakan nikmat tersebut dengan benar dalam amal perbuatan. Definisi ini sejalan dengan ajaran agama bahwa syukur mencakup hati, lisan, dan perbuatan: “Syukur dengan hati adalah pengakuan akan nikmat Allah, syukur dengan lisan adalah memuji-Nya (mengucap alhamdulillah), dan syukur dengan anggota badan adalah menggunakan nikmat untuk taat kepada-Nya.”.

Di tengah budaya membandingkan saat ini di mana seseorang selalu merasa hidupnya kurang sukses atau kurang beruntung dibanding orang lain di media social syukur adalah penawar paling efektif. Dengan bersyukur, fokus kita beralih dari apa yang tidak kita miliki kepada apa yang sudah kita miliki. Kita diingatkan bahwa nikmat yang ada pada diri kita mungkin adalah impian bagi orang lain. Rasa syukur membentengi hati dari penyakit iri dan dengki, serta memadamkan kegelisahan akibat terus menerus membandingkan diri dengan orang lain. “Kekayaan bukanlah banyaknya harta,” ujar sebuah hikmah, “tetapi [terletak pada] hati yang merasa cukup.” Syukur melahirkan qana‘ah, yaitu perasaan cukup atas rezeki yang Allah beri, sehingga seseorang tidak diperbudak oleh ambisi tak berujung. Orang yang bersyukur dan qana‘ah hatinya tenang; ia tidak lagi gelisah oleh perbandingan sosial atau terseret perlombaan semu mengejar dunia.

Riset dalam psikologi positif mengonfirmasi keampuhan syukur bagi kesehatan mental. Misalnya, studi klasik oleh Robert Emmons dan Michael McCullough (2003) menemukan bahwa orang-orang yang rutin bersyukur mengalami penurunan tingkat stres dan kecemasan, peningkatan emosi positif (kebahagiaan), serta hubungan sosial yang lebih kuat dibanding kelompok yang tidak melatih syukur. Dalam eksperimen mereka, partisipan yang diminta menuliskan hal-hal yang disyukuri secara teratur menunjukkan kesejahteraan psikologis lebih tinggi daripada partisipan yang hanya mencatat keluhan atau peristiwa netral. Temuan ini menggarisbawahi ajaran lama para sufi bahwa “tidak ada yang lebih menenangkan hati selain syukur; syukur menjadikan yang sedikit terasa cukup.” Benarlah kata Ibn Qayyim al-Jawziyya (w. 1350 M) – ulama yang menulis kitab Madarij as-Salikin: syukur dan qana‘ah adalah dua kunci kebahagiaan di dunia dan akhirat, karena dengan bersyukur hati menjadi tentram dan Allah pun menambah nikmat-Nya. Al-Qur’an telah menegaskan hubungan syukur dan kesejahteraan batin ini: “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim/14: 7). Para mufasir menjelaskan bahwa “tambahan” itu bukan hanya dalam hal materi, melainkan berupa kelapangan hati, keberkahan, dan ketenangan yang Allah limpahkan kepada hamba-Nya yang pandai bersyukur.


Buahnya: Sakinah, Ridha, dan Qana‘ah

Ikhlas dan syukur pada akhirnya melahirkan ketenangan (sakinah) dalam hati, ketenangan yang tidak tergantung pada situasi luar. Dari ketenangan itu tumbuh sikap ridha (menerima dengan lapang apa pun ketetapan Allah) dan puncaknya adalah qana‘ah (merasakan cukup yang sebenar-benarnya). Tiga keadaan batin ini menjadi “buah manis” dari ikhlas dan syukur. Sakinah membuat jiwa tidak lagi bising oleh tekanan eksternal; ridha membuat hati rela menerima suka-duka dengan tawakal; dan qana‘ah menjadi perisai ampuh menghadapi godaan konsumsi berlebihan di zaman yang materialistis.

Di tengah kenaikan biaya hidup, tekanan kerja, dan arus informasi tanpa henti, ketiga sikap batin tersebut jelas menjadi kebutuhan, bukan sekadar wacana spiritual belaka. Seseorang yang menghiasi hatinya dengan ikhlas dan syukur akan lebih tangguh menghadapi zaman yang bising. Ia memiliki “rumah tenang” di dalam jiwanya sendiri. Ia tidak mudah goyah oleh penilaian manusia atau hiruk-pikuk perbandingan hidup, karena pandangannya tertuju kepada Allah. Pada akhirnya, seperti disimpulkan dalam nasihat bijak: “Hidup ini adalah perjalanan antara doa yang terus dipanjatkan, syukur yang terus dijaga, dan qana‘ah yang terus dipelajari. Jika tiga hal ini dipadukan, maka hati akan menemukan rumahnya: ketenangan.” Dengan ikhlas dan syukur, kita menempuh jalan sunyi nan teduh di tengah gemuruh dunia jalan menuju sakinah, ridha, dan qana‘ah yang menenteramkan.

Rahasia Tenang di Era Digital (Dua Kata, Ikhlas dan Syukur)
Admin 23 November 2025
Share post ini
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar