Di banyak kampus Islam, baik negeri maupun swasta, akreditasi kini terdengar seperti mantra wajib. Ia dikejar dengan kecemasan, dirayakan seperti kemenangan, dan kadang—maaf—dipuja melebihi substansi keilmuan itu sendiri. Banyak Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) maupun Swasta (PTAIS) menguras energi hanya untuk meraih predikat Unggul. Padahal, akreditasi sejatinya hanyalah fondasi awal, bukan puncak keunggulan akademik.
Yang lebih ironis, semakin tinggi skor akreditasi, semakin tebal dokumen yang disiapkan, semakin sering rapat digelar, dan semakin banyak laporan disusun. Namun pertanyaan mendasarnya tetap menggantung: apakah lulusan semakin kritis? Apakah riset semakin memberi manfaat? Apakah masyarakat merasakan hasilnya?
Jawabannya tidak selalu. Yang muncul justru budaya mutu administratif. Perguruan tinggi sibuk memastikan bahwa borang akreditasi rapi, format benar, dan data tampak meyakinkan, sementara esensi pendidikan—pembinaan akhlak, kreativitas intelektual, dan kualitas nalar—tidak selalu tersentuh. Anggaran habis untuk konsultan, pelatihan akreditasi, dan pencetakan dokumen formalitas yang akhirnya lebih akrab dengan lemari arsip dibanding ruang kelas.
Ironinya berlanjut. Di atas kertas, kampus dinyatakan unggul, tetapi pengguna lulusan mengeluh: komunikasi yang kurang memadai, kreativitas yang minim, kecakapan teknologi yang terbatas, atau etika kerja yang lemah. Akreditasi masih didominasi logika angka: jumlah dosen bergelar, rasio koleksi perpustakaan, dan akumulasi publikasi. Semua itu penting, tetapi masih berupa infrastruktur akademik, belum menjamin substansi pembelajaran.
Kita sering sibuk mengejar poin publikasi dan kenaikan jabatan fungsional, tetapi luput memastikan bahwa ilmu itu hidup di ruang kelas dan bermakna bagi mahasiswa. Ilmu yang hanya terbit di jurnal tetapi tidak mengubah cara berpikir mahasiswa sesungguhnya belum menjalankan peran keilmuannya.
Untuk keluar dari siklus birokrasi mutu, ada tiga perubahan yang mendesak dilakukan. Pertama, reorientasi anggaran dan kurikulum. Dana besar yang selama ini tersedot untuk ritual akreditasi lebih baik dialihkan ke program sabbatical, penguatan kapasitas riset, serta pengembangan kurikulum yang adaptif dan relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan dinamika sosial umat. Lulusan perlu dipersiapkan bukan hanya sebagai pencari kerja, tetapi pencipta solusi.
Kedua, orientasi riset perlu bergeser. Pertanyaan pentingnya bukan lagi berapa artikel terbit, melainkan siapa yang menggunakan hasil riset tersebut. Apakah ia menjadi basis kebijakan publik? Apakah diadopsi industri? Apakah memberi kontribusi bagi umat? Riset yang tidak digunakan hanyalah arsip digital, bukan kontribusi ilmiah.
Ketiga, akreditasi harus ditempatkan secara proporsional sebagai administrasi, bukan orientasi utama pendidikan. Yang lebih penting adalah indikator nyata seperti serapan kerja lulusan, jumlah inovasi, paten, wirausahawan baru, dan rekam jejak penelitian yang berdampak.
Dalam proses ini, peran dosen senior dan guru besar menjadi sangat penting. Mereka tidak boleh sekadar menjadi simbol penghormatan akademik. Mereka harus hadir sebagai pembimbing, penggerak riset, pengarah kurikulum, dan teladan etika ilmiah. Ilmu yang tidak diwariskan hanyalah peninggalan sejarah, bukan jembatan masa depan.
Kini saatnya kampus Islam berhenti mengejar angka dan kembali mengejar makna. Mutu sejati tidak lahir dari dokumen yang rapi, tetapi dari ekosistem ilmiah yang hidup dan memberi manfaat. Pendidikan yang baik melahirkan manusia berintegritas, riset yang relevan, dan kontribusi nyata bagi umat dan bangsa.
Akreditasi itu penting. Namun, kualitas manusialah yang semestinya menjadi tujuan tertinggi.
Mengakhiri Obsesi Akreditasi: Saatnya PTAIN dan PTAIS Mengejar Mutu Sejati