Di tengah hiruk pikuk peringatan Hari Guru setiap 25 November, terdapat momen reflektif yang semestinya tidak terlewatkan, yah, Hari Guru bukan hanya perayaan formal, tetapi ruang bagi setiap pendidik untuk menengok kembali jati diri dan amanah keilmuannya. Bagi sebagian guru, hari ini ibarat hari raya kedua, waktu untuk mengingat sifat-sifat luhur yang seharusnya melekat, sekaligus mengevaluasi perjalanan dalam mendidik generasi penerus bangsa. Kemeriahan Hari Guru seharusnya menghadirkan keheningan batin, menyalakan kembali kompas moral dan keikhlasan seorang pendidik.
Selama ini istilah guru sering dikaitkan dengan guru TK, SD, SMP, SMA, atau jenjang sederajat lainnya. Namun sesungguhnya, dosen pun berada dalam lingkup yang sama bahkan dalam makna yang lebih luas. Dosen mendidik untuk menghilangkan kebodohan, meneliti untuk mencari solusi bagi problematika masyarakat, dan berkhidmat melalui pengabdian yang menyentuh kebutuhan umat. Dengan demikian, dosen bukan hanya guru, tetapi guru sejati yang mengemban tiga pilar utama pendidikan tinggi: pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Peran tersebut menjadikan dosen sebagai guru masyarakat, sebuah amanah yang jauh lebih kompleks dibandingkan mengajar di ruang kelas semata. Tugas mereka menyentuh ranah intelektual, moral, sosial, hingga spiritual. Besarnya tanggung jawab itu menuntut kesiapan hati dan keteguhan jiwa untuk menerima berbagai risiko dan tantangan pengabdian. Dengan menyandang nama “dosen,” seseorang sesungguhnya tengah menerima sebuah kehidupan pelayanan, bukan hanya profesi.
Sebagai ASN yang baru menyelesaikan Pelatihan Dasar, saya semakin memahami bahwa tanggung jawab yang saya pikul sangatlah besar. Namun, kesadaran itu tidak boleh menghadirkan beban, melainkan keteguhan untuk menjalani pilihan hidup yang telah diterima. Demikian pula para dosen yang memilih jalan pengabdian ini, mereka hadir sebagai pembimbing intelektual, penuntun akhlak, sekaligus penjaga masa depan bangsa.
Di balik tanggung jawab yang besar, tentu Allah menyediakan hak, pahala, dan kemuliaan yang sepadan bagi para pendidik yang bersungguh-sungguh. Saya pribadi bersyukur berada di bawah naungan Kementerian Agama Republik Indonesia yang menjunjung tinggi motto Ikhlas Beramal. Dua kata yang singkat namun kaya makna ini mengingatkan setiap ASN dan pendidik bahwa tugas mereka bukan sekadar rutinitas administratif, tetapi ibadah yang menuntut kemurnian niat dan kesungguhan hati.
Secara bahasa, kata ikhlas bermakna أمحض “amhadho” (memurnikan). Ibnu Mandhur dalam Lisan al-‘Arab menjelaskan bahwa: أخلص لله دينه “akhlasho lillah dinahu” berarti (memurnikan agama hanya kepada Allah semata). Makna ini mengisyaratkan bahwa setiap langkah seorang pendidik, baik guru maupun dosen harus dilandasi niat yang jernih dan bebas dari pamrih selain keridaan-Nya. Keikhlasan inilah yang menjadikan ilmu sebagai cahaya pembimbing, bukan sekadar kumpulan informasi.
Sementara itu, beramal merupakan ikhtiar untuk melakukan kebaikan dalam segala aspek kehidupan: ibadah, pekerjaan, kontribusi sosial, dan pengabdian kepada sesama. Ketika seorang guru atau dosen memaknai pekerjaannya sebagai amal ibadah, maka setiap interaksi dengan mahasiswa, setiap proses penelitian, serta setiap bentuk pengabdian menjadi bagian dari jalan menuju ridha Allah. Pada titik inilah istilah guru dan dosen bertemu dalam satu titik kemuliaan, keduanya adalah pengabdi ilmu yang dimuliakan karena keikhlasannya.
Sebagai penutup, izinkan saya menyampaikan: Selamat Hari Guru untuk seluruh Dosen hebat di negeri ini. Terima kasih atas keikhlasan, pengorbanan, ilmu, dan ketulusan yang telah Anda curahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga Allah melapangkan hati, menguatkan langkah, dan meninggikan derajat seluruh dosen yang telah memilih jalan mulia ini. Semoga karya, dedikasi, dan doa Anda menjadi jariyah yang tak pernah putus.
Ketika Dosen Memaknai Kedalaman Hakikat Guru Sejati