Skip ke Konten

Mencari Ruhul Mudarris: Refleksi Hari Guru Nasional di Tengah Memudarnya Jiwa Pendidik

Dr. Muhammad Ali Rusdi Bedong, S.Thi., M. HI. (Wakil Rektor III IAIN Parepare)
25 November 2025 oleh
Mencari Ruhul Mudarris: Refleksi Hari Guru Nasional di Tengah Memudarnya Jiwa Pendidik
Admin
| Belum ada komentar

Hari Guru Nasional setiap tahun selalu menghadirkan suasana haru yang sama: ucapan selamat, foto-foto nostalgia, dan kata-kata manis tentang jasa guru. Namun di balik semua itu, ada kegelisahan yang diam-diam tumbuh dan dirasakan oleh banyak orang yang dekat dengan dunia pendidikan tentang bagaimana ruh seorang guru perlahan pudar, digantikan oleh tuntutan profesi yang semakin administratif dan mekanis. Kita menyaksikan realitas yang tak bisa lagi disembunyikan: semakin banyak guru yang hadir sebagai pekerja, bukan pendidik; sebagai pelaksana teknis, bukan pembimbing jiwa; sebagai pencari jam dan tunjangan, bukan pencari ridha Allah.


Di banyak sekolah, wajah guru tampak lelah. Bukan karena mengajar, tetapi karena administrasi yang tak pernah selesai. Dokumen yang harus dipenuhi begitu banyak hingga menguras energi yang seharusnya dicurahkan untuk berinteraksi dengan murid. Kelas bukan lagi ruang dialog yang hangat, melainkan tempat menuntaskan kewajiban. Guru tidak lagi memiliki waktu untuk mendengarkan cerita murid-muridnya, apalagi memahami psikologi dan latar belakang mereka. Di tengah tekanan sistem ini, ruhul mudarris “jiwa pendidik sejati” perlahan memudar seperti cahaya yang tenggelam di antara tumpukan kertas dan layar laptop.


Fenomena ini menjadikan profesi guru berada pada tiga lapisan yang bergerak di antara realitas dan ideal. Ada guru yang hanya mampu menjadi Medium Teacher, sosok yang bekerja sesuai standar, menjalankan tugas dengan baik, tetapi terkungkung rutinitas. Mereka adalah fondasi yang menjaga kelas tetap berjalan, namun sering kehilangan ruang untuk bertumbuh. Ada pula yang berada setingkat lebih tinggi yaitu Good Teacher yang mengajar tidak hanya dengan pengetahuan, tetapi dengan keteladanan. Guru-guru ini menjadi inspirasi, panutan, dan teladan. Anak-anak merindukan mereka bukan karena nilai, tetapi karena cara mereka hadir sebagai manusia.


Namun bangsa ini membutuhkan lebih dari itu. Kita membutuhkan Excellent Teacher, guru yang tidak hanya menginspirasi, tetapi juga melampaui batas-batas administrasi. Guru yang mencari cara baru, mencipta inovasi, merangkul kreativitas, dan mendorong murid untuk berpikir melampaui buku. Sosok seperti ini menjadi pilar perubahan, bahkan ketika sistem belum mendukung sepenuhnya. Tetapi realitasnya, menjadi Excellent Teacher begitu sulit ketika seluruh energi guru habis untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan mendidik jiwa.


Di tengah derasnya profesionalisme yang menuntut sertifikasi, angka kredit, dan tunjangan, kita lupa bahwa guru pada dasarnya adalah profesi ilahiah. Bukan hanya profesi yang dihitung per jam, tetapi pengabdian yang diukur oleh kejujuran, kesabaran, dan ketulusan. Ilmu yang diajarkan guru adalah amal jariyah; doa murid adalah pahala yang terus mengalir; dan keteladanan seorang guru adalah warisan yang lebih tinggi nilai-nya daripada gaji berapa pun. Sayangnya, kesadaran semacam ini perlahan menghilang, tergeser oleh orientasi profesi yang semakin materialistik.


Hari Guru Nasional seharusnya bukan hanya momentum untuk memuji guru, tetapi juga untuk membangunkan kesadaran nasional: kita sedang kehilangan jantung pendidikan kita. Pendidikan boleh maju dengan teknologi, tetapi ia akan runtuh bila kehilangan jiwa gurunya. Kita memerlukan upaya bersama oleh pemerintah, oleh masyarakat, oleh lembaga pendidikan untuk mengembalikan martabat guru bukan hanya melalui angka-angka tunjangan, tetapi melalui pemulihan ruang batin mereka.


Bangsa ini tidak akan pernah maju jika gurunya hanya Medium Teacher. Ia akan bertumbuh jika gurunya banyak yang menjadi Good Teacher. Namun ia hanya akan melompat jauh ke depan jika guru-gurunya berani menjadi Excellent Teacher: pendidik yang tidak sekadar bekerja, tetapi membentuk manusia.


Pada akhirnya, ruhul mudarris adalah cahaya kecil dalam hati setiap guru—cahaya yang membuat mereka tetap mengajar meski gaji kecil, tetap membimbing meski letih, dan tetap peduli meski tidak dihargai. Cahaya itu harus kita jaga. Ia adalah nyala yang menentukan masa depan bangsa.

Selamat Hari Guru Nasional.


Semoga cahaya itu kembali bersinar dalam diri setiap guru.

Mencari Ruhul Mudarris: Refleksi Hari Guru Nasional di Tengah Memudarnya Jiwa Pendidik
Admin 25 November 2025
Share post ini
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar