Di banyak sekolah dan kampus di Indonesia, ada pemandangan yang sudah sangat akrab. Menjelang akreditasi atau pelaksanaan suatu kegiatan, ruang guru seketika berubah menjadi “ruang perang”: berkas menumpuk, laptop menyala sampai malam, guru sibuk mengedit dokumen, mengunggah file, menyiapkan bukti fisik, melayani rapat berjam-jam. Di sela-sela itu, mereka tetap mengajar di kelas, memeriksa tugas, dan melayani mahasiswa atau siswa. Lalu ketika semua selesai, datanglah sekardus konsumsi yang sering disebut “nasi kotak” sebagai ucapan terima kasih. Seolah kelelahan fisik, waktu yang terampas dari keluarga, dan tekanan mental lunas dibayar dengan sebungkus nasi.
Secara formal, tugas utama guru adalah mengajar. Gaji yang mereka terima dipahami sebagai imbalan atas proses pembelajaran di kelas: menyusun materi, mengelola kelas, menilai tugas, dan membimbing siswa. Namun realitas kerja guru jauh melampaui sekadar berdiri di depan kelas. Mereka harus menyusun RPP atau modul, mengembangkan asesmen, mengisi berbagai platform digital, melakukan bimbingan individu, hingga mengelola dinamika sosial-emosional peserta didik yang kian kompleks. Di atas itu semua, ada lapisan kerja administratif: mengisi instrumen akreditasi, menyusun laporan kegiatan, mendokumentasikan setiap program, serta menjadi panitia berbagai kegiatan lembaga.
Dalam konteks inilah ironi anggaran kegiatan menjadi nyata. Sering kali, ketika sebuah kegiatan disusun, guru diberi tanggung jawab mengelola anggaran: menyusun proposal biaya, merancang kebutuhan logistik, memastikan kegiatan berjalan sesuai jadwal. Di atas kertas, anggaran terlihat cukup: ada dana untuk sewa tenda atau ruangan, banner, sound system, panggung, dekorasi, dokumentasi, transportasi, konsumsi, bahkan kadang untuk narasumber luar. Tetapi di dalam rincian anggaran itu, honor untuk guru yang bekerja berhari-hari sebelum dan selama kegiatan justru tidak muncul. Guru hanya “kebagian” uang konsumsi: nasi kotak dan mungkin snack selama rapat. Secara kasatmata, kegiatan “punya anggaran”, tetapi tenaga internal yang menopang kegiatan tidak diakui sebagai pos biaya yang layak dihargai.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa kerja guru dalam kegiatan kelembagaan diposisikan sebagai sesuatu yang otomatis melekat pada jabatan, bukan sebagai jasa profesional yang memerlukan kompensasi. Anggaran seolah hadir dan “cukup”, tetapi orientasinya lebih banyak pada tampilan dan kelancaran acara, bukan pada kesejahteraan orang yang mengerjakannya. Nasi kotak yang awalnya sekadar pelengkap rapat perlahan berubah menjadi simbol: kerja lembur, rapat panjang, persiapan administrasi, dan koordinasi teknis seakan-akan terbayar lunas dengan konsumsi yang nilainya jauh di bawah energi dan waktu yang dikorbankan.
Dalam perspektif sosiologi analisis kelas sosial, situasi ini dapat dibaca sebagai bentuk eksploitasi halus. Lembaga memperoleh manfaat maksimal dari kerja guru dengan biaya minimal, sementara guru diajak menyelesaikan ketimpangan itu dengan rasa “ikhlas” dan sebungkus nasi. Nasi kotak itu sendiri tentu bukan masalah; ia bisa menjadi bentuk perhatian yang wajar. Masalah muncul ketika konsumsi dijadikan substitusi bagi honor lembur dan pos “upah kerja” dalam anggaran sengaja tidak pernah dituliskan. Tenaga dan waktu guru menjadi komponen “gratis” dalam skema biaya kegiatan.
Narasi tentang guru sebagai “ladang amal” dan “pekerjaan pengabdian” turut memperkuat pola ini. Pekerjaan mendidik dimaknai sebagai ibadah dan jalan menuju pahala, sehingga pembicaraan tentang upah, honor, atau insentif sering kali dianggap sebagai sesuatu yang kurang pantas. Guru yang bertanya soal honor kegiatan atau menolak lembur tanpa kejelasan kerap distigmatisasi sebagai kurang ikhlas, terlalu materialistis, atau tidak loyal terhadap lembaga. Padahal, dari sudut pandang hak-hak tenaga kerja, tuntutan atas upah yang layak merupakan bagian dari keadilan distributif, bukan sekadar ekspresi keserakahan individu.
Mengakui guru sebagai pekerja yang berhak atas upah layak tidak serta-merta menghapus dimensi ibadah dari profesi tersebut. Guru secara objektif adalah pekerja pengetahuan (knowledge worker) yang menjual waktu, tenaga, dan keahlian. Mereka menjalankan fungsi strategis dalam reproduksi pengetahuan, pembentukan karakter, dan pemeliharaan kehidupan sosial. Wajar apabila mereka menuntut kompensasi yang adil, termasuk untuk pekerjaan administratif, kepanitiaan, dan persiapan akreditasi. Keikhlasan seharusnya diletakkan sebagai pilihan etis personal, bukan sebagai instrumen untuk menormalkan ketimpangan struktural.
Jika kita membandingkan dengan buruh di sektor lain, perbedaan ini tampak kontras. Buruh pabrik atau pekerja proyek memiliki istilah yang jelas untuk upah, lembur, dan kontrak kerja. Ketika mereka menuntut hak, hal itu dipahami sebagai bagian dari perjuangan kelas pekerja. Sementara itu, guru kerap terjebak dalam bahasa moral: pengabdian, loyalitas, keteladanan. Mereka bekerja di bawah tekanan target akreditasi, tenggat laporan, dan agenda kegiatan, tetapi suaranya untuk menuntut honor sering kali disorot sebagai “tidak pantas bagi seorang pendidik”.
Fenomena “guru dan nasi kotak” dengan demikian bukan sekadar perkara konsumsi, tetapi menggambarkan bagaimana budaya organisasi dan kebijakan anggaran di sektor pendidikan memproduksi ketidakadilan yang bersifat rutin. Selama anggaran kegiatan dengan mudah mengakomodasi biaya dekorasi, spanduk, dan konsumsi, tetapi tidak menyediakan pos honor yang layak bagi kerja guru, maka slogan “guru adalah pahlawan” akan tetap terdengar hampa. Pahlawan pendidikan diagungkan dalam pidato, tetapi dalam praktik, kerja mereka masih dibayar dengan lauk seadanya.
Perubahan perlu dimulai dari pengakuan bahwa kerja administratif, kepanitiaan, dan akreditasi adalah kerja profesional yang layak dihitung dan dibayar. Lembaga pendidikan dapat menyusun standar yang jelas tentang honor kegiatan, skema pengurangan beban mengajar bagi guru yang terlibat intensif dalam akreditasi, serta mekanisme insentif yang transparan dan adil. Pemerintah pun perlu meninjau ulang desain kebijakan yang menempatkan administrasi sebagai indikator utama mutu tanpa menjamin perlindungan memadai bagi tenaga pendidik.
Organisasi profesi dan komunitas guru dapat berperan sebagai ruang kolektif untuk menyusun bahasa tuntutan yang argumentatif dan bermartabat, bukan sekadar keluhan individual yang mudah diabaikan. Di sisi lain, masyarakat perlu menggeser fokus: dari sekadar menasihati guru agar ikhlas, menuju keberpihakan pada kebijakan yang adil bagi mereka. Pertanyaan yang layak diajukan bukan hanya, “Apakah guru sudah cukup ikhlas?”, tetapi juga, “Apakah sistem sudah cukup adil terhadap guru?”
Selama kerja besar guru dalam kegiatan, akreditasi, dan administrasi masih dibayar hanya dengan konsumsi simbolik seperti nasi kotak, kita sedang menikmati hasil dari sebuah struktur yang bertumpu pada pengorbanan yang senyap. Mengembalikan martabat guru berarti memastikan bahwa mereka berhak atas lebih dari sekadar ucapan terima kasih dan sebungkus nasi: mereka layak mendapatkan penghargaan material dan struktural yang sepadan dengan peran strategis mereka dalam membentuk masa depan bangsa.
Guru dan Nasi kotak