Skip ke Konten

Maulid Nabi dan Jurnalisme Profetik

Alfiansyah Anwar
20 September 2025 oleh
Maulid Nabi dan Jurnalisme Profetik
Suhartina
| Belum ada komentar

Maulid Nabi Muhammad saw. setiap tahun dirayakan dengan penuh suka cita oleh umat Islam. Bukan hanya untuk mengenang kelahiran Rasulullah, tetapi juga sebagai momentum meneladani akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah derasnya arus informasi digital, nilai-nilai kenabian justru semakin relevan, termasuk dalam profesi modern seperti jurnalistik.

Jurnalis tidak hanya bertugas menulis berita. Profesi ini mengemban amanah besar: menyampaikan kebenaran, menjaga independensi, sekaligus membentuk opini publik. Oleh karena itu, muncul gagasan tentang jurnalisme profetik—sebuah paradigma yang berlandaskan pada empat sifat kenabian: shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas).

Amanah Pers dan Teladan Rasulullah

Fungsi pers menurut UU No. 40 Tahun 1999 adalah media informasi, pendidikan, hiburan, sekaligus kontrol sosial. Bahkan, pers juga diakui memiliki fungsi ekonomi. Namun, kepentingan bisnis jangan sampai mengorbankan idealisme dan tanggung jawab moral. Rasulullah telah memberi teladan: amanah dakwah selalu ditempatkan di atas kepentingan pribadi. Begitu pula jurnalis, mereka harus menempatkan kebenaran dan kepentingan publik di atas segala kepentingan materi maupun kelompok.

Maulid: Ruang Nilai untuk Jurnalis

Sering kali Maulid hanya dipandang sebagai perayaan seremonial. Padahal, esensinya adalah pendidikan moral dan akhlak. Di Nusantara, peringatan Maulid identik dengan pengajian, zikir, dan berbagi makanan. Dari tradisi itu lahir nilai kasih sayang, solidaritas, dan kebersamaan. Nilai-nilai inilah yang seharusnya juga hidup dalam karya jurnalistik: kejujuran dalam fakta, keadilan dalam berita, serta keberpihakan pada kemaslahatan umat.

Media yang mengejar sensasi semata akan merugikan publik. Sebaliknya, media yang berjiwa profetik mampu menjadi cahaya pencerahan, sebagaimana spirit Maulid yang menuntun pada akhlak mulia.

Jurnalisme Profetik: Misi Humanisasi dan Transendensi

Kuntowijoyo merumuskan konsep Ilmu Sosial Profetik yang menekankan humanisasi, liberasi, dan transendensi. Jika diterapkan dalam media, jurnalisme profetik tidak hanya melaporkan peristiwa, tetapi juga memanusiakan manusia, membela yang lemah, serta menghubungkan realitas sosial dengan nilai ilahi.

Empat sifat Rasulullah menjadi pegangan praktis:

  • Shiddiq – Jujur dalam verifikasi fakta.
  • Amanah – Menjaga integritas dan independensi media.
  • Tabligh – Menyampaikan kebenaran walau pahit.
  • Fathanah – Cerdas membaca konteks sosial dan teknologi.

Jika sifat-sifat ini benar-benar dihidupkan, hoaks dan framing menyesatkan tidak akan mudah menguasai ruang publik.

Etika Profesi: Menyatukan Kode Etik dan Pesan Ilahi

Kode Etik Jurnalistik menegaskan bahwa wartawan tidak boleh menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Prinsip ini sejalan dengan nilai Islam yang menolak jual beli kebenaran. Al-Qur’an pun menegaskan: “Ikutilah orang yang tiada meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin: 21).

Rasulullah saw. juga bersabda: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat.” (HR. Bukhari). Pesan ini menegaskan bahwa menyampaikan kebenaran adalah amanah yang suci, bukan komoditas yang bisa diperdagangkan.

Peran Kampus: Melahirkan Jurnalis Berakhlak

Dalam konteks ini, kampus memiliki peran penting. Program Studi Jurnalistik Islam di Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Parepare, misalnya, berupaya melahirkan jurnalis yang tidak hanya mahir menulis, tetapi juga berakhlak. Kurikulum yang memadukan keterampilan teknis dengan nilai moral menjadi strategi agar mahasiswa memahami jurnalistik sebagai bagian dari dakwah.

Menulis berita bukan hanya soal 5W+1H, tetapi juga soal membawa misi tabligh Rasulullah: mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran melalui pena, kamera, dan media digital. Oleh karena itu, Maulid seharusnya menjadi alarm moral bagi dunia media, khususnya media Islam. Media tidak boleh berhenti pada kepentingan bisnis atau politik, tetapi kembali pada misinya: menyampaikan kebenaran dan pencerahan umat.

Sejumlah media Islam seperti Republika, NU Online, dan TV Muhammadiyah telah memberi contoh bagaimana liputan aktual bisa dibalut dengan spirit dakwah. Model seperti ini perlu diperkuat dengan riset dan pendidikan di kampus, sehingga lahir jurnalis profesional sekaligus profetik.

Maulid Nabi Muhammad saw. adalah momentum reflektif: bagaimana jurnalis dan akademisi menjadikan akhlak Rasulullah sebagai kompas moral dalam berkarya. Jika jurnalisme profetik benar-benar dihidupkan, media tidak hanya menjadi saksi zaman, tetapi juga penerus misi kenabian.

Sudah saatnya Maulid tidak hanya dirayakan di panggung-panggung peringatan, tetapi juga dihidupkan dalam profesi. Dengan begitu, setiap berita yang ditulis bukan sekadar informasi, melainkan amal jariyah yang menyebarkan cahaya kenabian. 

di dalam Opini Dosen
Maulid Nabi dan Jurnalisme Profetik
Suhartina 20 September 2025
Share post ini
Label
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar