Skip ke Konten

LPDU: Membangun Ekonomi Umat Berbasis Cinta dan Eko-Teologi

Tasrif, S.E., M.M (Pranata Humas/ Ajudan Rektor IAIN Parepare)
4 November 2025 oleh
LPDU: Membangun Ekonomi Umat Berbasis Cinta dan Eko-Teologi
Hamzah Aziz
| Belum ada komentar

Langkah Menteri Agama Nasaruddin Umar menggagas pembentukan Lembaga Pengelolaan Dana Umat (LPDU) mendapat sambutan luas dari berbagai kalangan. Di tengah situasi ekonomi yang menantang dan kesenjangan sosial yang masih terasa, gagasan ini menandai arah baru dalam tata kelola kehidupan beragama di Indonesia: spiritualitas umat tidak berhenti pada ritual, tetapi bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi yang produktif dan berkeadilan. Potensi dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar Rp1000 triliun per tahun, namun realisasi faktualnya masih jauh dari potensi tersebut. LPDU hadir untuk menjembatani kesenjangan itu dengan cara mengintegrasikan dana umat secara profesional, transparan, dan berorientasi pada pemberdayaan ekonomi umat.

Gagasan ini sejalan dengan pandangan para ekonom klasik dan kontemporer yang menempatkan moralitas sebagai fondasi pembangunan ekonomi. Adam Smith misalnya dalam The Wealth of Nations (1776) menegaskan bahwa pasar yang sehat tidak akan pernah terwujud tanpa landasan moral. Pandangan ini menempatkan etika dan rasa keadilan sebagai penggerak utama keseimbangan sosial. Dalam konteks kebijakan publik, kehadiran LPDU mencerminkan upaya negara untuk menghidupkan kembali fungsi moral dalam ekonomi bahwa uang bukan semata alat tukar, tetapi juga sarana memperluas kemaslahatan. 

Sementara menurut Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999) menekankan bahwa pembangunan sejati bukan sekadar pertumbuhan angka ekonomi, melainkan pembebasan manusia dari berbagai bentuk keterbatasan sosial dan ekonomi. LPDU dapat menjadi instrumen pembebasan itu, dengan cara mengubah penerima zakat (mustahik) menjadi pemberi zakat (muzakki) melalui mekanisme zakat produktif dan program pemberdayaan berkelanjutan.

Dalam perspektif Islam, para ekonom Muslim seperti M. Umer Chapra dan Monzer Kahf menegaskan bahwa sistem ekonomi Islam dibangun di atas tiga prinsip utama: keadilan (‘adl), kemaslahatan (maslahah), dan keseimbangan (mizan). Prinsip-prinsip ini mengarahkan umat untuk memandang kekayaan bukan sebagai kepemilikan absolut, melainkan sebagai amanah dari Allah SWT yang harus dikelola demi kebaikan bersama. LPDU, dalam kerangka ini, merupakan implementasi konkret dari ajaran Al-Qur’an sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Hasyr [59]:7, bahwa harta tidak boleh berputar di kalangan orang kaya saja. Dengan tata kelola yang baik, LPDU berpotensi menjadi lembaga intermediasi sosial yang mampu menyalurkan dana keagamaan untuk pembiayaan mikro, pengembangan UMKM umat, dan program sosial yang memperkuat ekonomi akar rumput.

Namun, kebijakan ekonomi yang hanya bertumpu pada sistem dan angka tanpa roh spiritual akan mudah kehilangan arah. Di sinilah gagasan Kurikulum Cinta yang kini digaungkan oleh Kementerian Agama menemukan relevansinya. Cinta dalam konteks ini bukan sekadar ekspresi emosional, tetapi paradigma etis dan epistemologis dalam merumuskan kebijakan publik. Mengelola dana umat dengan cinta berarti menempatkan kemanusiaan di pusat keputusan ekonomi, memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan membawa manfaat bagi mereka yang paling membutuhkan. LPDU yang berlandaskan semangat cinta sosial dapat menjadi medium empati kolektif, tempat keadilan distributif diwujudkan secara nyata. Seperti halnya cinta yang menghidupkan hubungan antar manusia, LPDU diharapkan menjadi sarana untuk menghidupkan solidaritas sosial, menumbuhkan kepercayaan, dan mengubah budaya bantuan menjadi budaya pemberdayaan.

Lebih jauh, Menteri Agama juga menautkan gagasan LPDU dengan konsep Eko-Teologi, yakni kesadaran bahwa iman, ekonomi, dan alam tidak dapat dipisahkan. Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr (1968), krisis ekologi modern bersumber dari krisis spiritual manusia yang memperlakukan alam sebagai objek eksploitasi. Dalam kerangka itu, LPDU memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor ekonomi hijau berbasis iman. Dana zakat dan wakaf yang dikelola dapat diarahkan untuk membiayai pertanian organik pesantren, energi terbarukan berbasis wakaf, hingga pengelolaan lingkungan masjid yang berkelanjutan. Dengan cara ini, LPDU tidak hanya menyejahterakan manusia tetapi juga memulihkan harmoni antara manusia dan alam, sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).

Kebijakan LPDU harus dipandang bukan semata sebagai proyek administratif, tetapi sebagai gerakan nasional pemberdayaan umat. Perguruan tinggi keagamaan, ormas Islam, lembaga keuangan syariah, dan pesantren dapat bersinergi dalam penelitian, edukasi, dan implementasi ekonomi keagamaan berbasis data dan riset. Sinergi inilah yang akan memastikan bahwa LPDU tidak berhenti sebagai ide birokratis, melainkan menjadi institusi transformatif yang mengubah paradigma keberagamaan: dari ritual menuju pengabdian sosial, dari pengumpulan dana menuju pembangunan peradaban.

Jika LPDU berhasil dijalankan dengan semangat cinta, keadilan, dan kesadaran ekologis, maka Indonesia berpeluang memimpin dunia Islam dalam model ekonomi spiritual yang berkelanjutan. LPDU bukan hanya menggerakkan uang, tetapi juga menumbuhkan hati, memanusiakan manusia, dan memulihkan keseimbangan antara manusia, Tuhan, dan alam. Di sinilah letak makna terdalam dari pembangunan keagamaan yang sejati, yaitu menjadikan iman sebagai energi produktif, cinta sebagai dasar kebijakan, dan bumi sebagai amanah yang dijaga bersama. 

LPDU: Membangun Ekonomi Umat Berbasis Cinta dan Eko-Teologi
Hamzah Aziz 4 November 2025
Share post ini
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar