“Jam berapaki pulang, Bu?” tanya Althaf, bocah kecil yang akhir-akhir ini tampak lupa makna hari Ahad. Pertanyaan sederhana itu menggema lembut, seolah mengetuk kesadaran: kapan terakhir kali kita benar-benar beristirahat tanpa beban di kepala dan target di tangan?
Sepekan terakhir, ruang LPM—yang dua hari ini berpindah ke rektorat lantai tiga—tak lagi sekadar tempat kerja. Ia menjelma menjadi rumah sementara bagi Tim Akreditasi: dosen, mahasiswa, bahkan anak-anak yang setia menunggu di sudut ruangan. Di sana, tawa dan lelah menyatu dalam satu harmoni. Di antara tumpukan berkas, deru laptop, dan aroma kopi yang kian pekat, lahir cerita kecil tentang perjuangan, kesetiaan, dan cinta pada lembaga.
“Saya nyaris lupa kalau besok hari Senin,” celetuk seseorang di tengah deretan tabel borang. Pikirannya kadang melayang ke Manado, ke rumah yang jaraknya kini terasa seperti benua lain.
“Ini semua demi Martabat Unggul,” sahut A, seorang CPNS yang sudah dua pekan tak sempat pulang ke istrinya. Kalimat itu disambut tawa lirih dari rekan-rekan yang sama letihnya, tawa yang menutupi rindu dan kelelahan yang makin menumpuk.
Obrolan pun kadang bergeser dari borang ke topik yang lebih “membumi”. Ada yang membahas serdos—yang konon katanya akan cair bulan November ini. “Kalau benar cair, kopi di kantin harus ditraktir,” canda seseorang sambil menatap layar yang tak kunjung padam. Tak lama, N nyeletuk dengan nada setengah serius, “Maumikah cair Tukinku bulan ini, Pak?” Pertanyaan itu sontak membuat ruangan hening sejenak, lalu pecah oleh tawa, sebab semua tahu—tak ada seorang pun di ruangan itu yang bisa menjawabnya. Namun dari tawa itu pula, terselip harapan kecil bahwa mungkin, entah bagaimana, Tuhan sedang mencatat semua lelah ini sebagai bagian dari rezeki yang lain.

“Tenang, anggap saja semua ini amal jariyah,” seloroh Kepala Pusat Pengembangan Standar dan Akreditasi. “Siapa tahu Tuhan menghadiai kita satu milyar.” Seketika ruangan kembali riuh. Untuk sesaat, mereka lupa pada jam yang terus berlari dan tenggat waktu yang kian mendesak.
Beberapa mahasiswa juga hadir, menjadi tangan-tangan muda yang penuh semangat. Mereka menyalin data, menata dokumen, memperbaiki format, dan memastikan semuanya tersimpan rapi. Mungkin terasa berat bagi mereka, tapi justru di situlah nilai sesungguhnya: belajar tanggung jawab di luar kelas, belajar arti dedikasi dan kerja sama yang tak sekadar berbasis teori.
Namun tak semua berjalan semulus tawa. Ada detik-detik tegang, perdebatan kecil, bahkan air mata yang nyaris jatuh. Di tengah kekalutan itu, wajah teduh Pak Warek I selalu menjadi penenang. Dengan suara lembut dan senyum tenang, beliau mengingatkan: perjuangan ini bukan semata soal nilai akreditasi, melainkan tentang menjaga marwah lembaga yang telah membesarkan kita semua.

Kini, menjelang tanggal 8 November, degup harapan makin kencang. Hal-hal yang dulu tampak kusut mulai menemukan bentuknya. Dokumen yang dulu tercecer kini tersusun rapi, data yang sempat membingungkan kini berbaris dengan anggun. Yang tersisa hanyalah doa yang pelan-pelan bergema di setiap tarikan napas.
Kami tahu, tidak ada yang sempurna. Namun kami juga tahu, tidak ada kerja keras yang berakhir sia-sia. Malam-malam panjang, canda di sela kantuk, obrolan tentang serdos dan Tukin yang belum cair, serta kopi yang tak lagi hangat—semuanya menyatu menjadi saksi perjalanan menuju satu kata yang kami dambakan: Unggul.
Ucapan terima kasih istimewa kami tujukan kepada para mahasiswa pendamping akreditasi yang telah bekerja tanpa pamrih: Ahmad; Rezki Amaliah Syafruddin, M.H.; Ahsan; Alfani Ramadani; Fahri Amin; Udita Faradita; Trimulfiana; Risnatia Haliza Nasya; Hafiz; Muh. Ryamizard Ryadi Putra; Amelia Putri; Fadila; Dwi Syuhada; Lutfiah Mahruza; Tasbih; Nurul; Muh. Yusuf; dan Muh. Fiqri Alif Utama. Terima kasih atas tenaga, waktu, dan kesetiaan kalian—kebersamaan ini memberi makna lebih dari sekadar capaian.
Apa pun hasilnya nanti, kami telah berjuang sebaik mungkin. Semoga akreditasi kali ini menjadi bukti bahwa lelah bisa menjadi ibadah, bahwa kebersamaan bisa melahirkan kekuatan, dan bahwa cinta pada kampus dapat diwujudkan dalam bentuk paling nyata: kerja yang sungguh-sungguh.

Jika suatu hari Althaf kembali bertanya, “Jam berapaki pulang, Bu?” — semoga jawabannya sudah bisa diucapkan dengan senyum lega: “Sebentar lagi, Nak. Setelah semua ini selesai, Ibu bisa pulang dengan tenang.”
Catatan: Tulisan ini dibuat untuk mengalihkan jenuh yang seskali hadir.
Menjelang Hari Akreditasi: Antara Lelah, Doa, dan Harapan