Skip ke Konten

Komunikasi yang Menjaga Marwah

Tentang seni berbicara dengan rasa, dan pentingnya keheningan dalam kepemimpinan digitaloleh Dr. Sulvinajayanti, M.I.Kom.
14 Oktober 2025 oleh
Komunikasi yang Menjaga Marwah
Admin
| Belum ada komentar

Di era digital, batas antara ruang pribadi dan publik kian menipis. Setiap kata, gambar, dan tindakan seorang pemimpin kini hidup di ruang maya, menjadi bagian dari narasi publik yang terus bergerak. Komunikasi bukan lagi sekadar soal berbicara, melainkan tentang bagaimana pesan itu hadir dengan rasa—dengan tetap menjaga marwah diri dan lembaga yang diwakili.

Kita hidup di masa ketika setiap tindakan mudah diabadikan dan dibagikan. Foto seorang pemimpin yang tengah membantu staf, menata halaman, atau memungut sampah bisa dengan cepat berpindah dari ruang internal ke media sosial. Tentu, ini menginspirasi. Namun di dunia digital, niat baik tidak selalu diterima dengan cara yang sama. Pesan yang sama bisa ditafsirkan beragam, tergantung ruang dan sudut pandang audiens.

Dalam komunikasi publik, setiap tindakan seorang pemimpin memiliki bobot simbolik. Ia tidak hanya mewakili pribadi, tetapi juga lembaga serta nilai-nilai yang dijunjungnya. Karena itu, kecerdasan simbolik menjadi kunci—yakni kemampuan membaca situasi, menakar waktu, dan memahami kapan sebuah tindakan layak dibagikan ke publik, serta kapan cukup disimpan sebagai keteladanan pribadi.

Sosiolog Erving Goffman pernah menggambarkan manusia sebagai aktor di atas panggung sosial, di mana publik menjadi penontonnya. Dalam kepemimpinan modern, ruang digital adalah panggung baru yang luas, dinamis, dan sensitif. Niat baik memberi teladan bisa kehilangan konteks bila ditampilkan tanpa kehati-hatian. Foto yang awalnya sekadar dokumentasi internal bisa terbaca berbeda ketika dilihat di ruang publik. Di sinilah pentingnya kebijaksanaan dalam setiap bentuk komunikasi.

Max Weber menekankan bahwa kepemimpinan yang rasional adalah yang menegakkan sistem, bukan sekadar menonjolkan figur. Pemimpin yang bijak tahu kapan harus hadir dan kapan memberi ruang bagi timnya untuk tumbuh. Di dunia digital, keseimbangan itu menjadi semakin penting: terlalu banyak tampil bisa mengaburkan wibawa, terlalu sedikit bisa menciptakan jarak. Yang dibutuhkan bukan banyaknya penampilan, melainkan ketepatan makna di setiap kemunculan.

Dalam perspektif Public Relations, komunikasi yang baik tidak hanya terbuka, tetapi juga kontekstual. James Grunig menyebut model two-way symmetrical communication sebagai bentuk komunikasi ideal—yakni komunikasi yang membangun saling pengertian dan kepercayaan. Dalam konteks kepemimpinan, artinya bukan seberapa sering berbicara, melainkan seberapa bijak memilih cara dan ruang berbicara. Kadang, pesan sederhana menjadi besar hanya karena disampaikan di ruang yang kurang tepat.

Nilai budaya kita sebenarnya telah lama menuntun arah ini. Dalam ajaran Bugis, dikenal konsep mappatabe’—yakni kehati-hatian sebelum berbicara atau bertindak agar tidak melampaui ruang dan rasa orang lain. Mappatabe’ bukan sekadar sopan santun, melainkan bentuk kecerdasan emosional yang tinggi: menyadari bahwa tidak semua kebaikan perlu dipertontonkan, dan tidak semua niat baik perlu diumumkan. Dalam diam yang bijak, sering kali tersimpan makna yang lebih dalam.

Kegelisahan terbesar dalam komunikasi kepemimpinan digital bukan pada kehadiran seorang pemimpin di ruang publik, melainkan pada keseimbangan antara kehadiran dan kebijaksanaan. Kecepatan berbagi terkadang mengalahkan kedalaman berpikir, hingga pesan yang semula bermakna malah kehilangan konteks. Padahal, esensi komunikasi kepemimpinan adalah menjaga kejernihan makna, bukan sekadar memperbanyak tayangan.

Pemimpin yang matang dalam berkomunikasi memahami bahwa kredibilitas tidak dibangun dari seberapa sering ia muncul, melainkan dari seberapa konsisten ia menjaga nilai dan rasa dalam setiap kehadirannya. Dalam dunia yang bising, keheningan yang bermakna sering kali menjadi bentuk komunikasi paling kuat.

Pada akhirnya, Public Relations sejati adalah tentang membangun kepercayaan. Dan kepercayaan tumbuh dari ketulusan, keseimbangan, serta kebijaksanaan dalam setiap pesan. Pemimpin yang komunikatif bukanlah yang paling aktif di media sosial, melainkan yang paling peka terhadap waktu, ruang, dan rasa. Sebab reputasi tidak lahir dari satu unggahan, tetapi dari kesadaran yang berulang untuk menjaga marwah dan makna di setiap langkah.

Kini, ketika arus informasi begitu deras, barangkali kita perlu belajar kembali pada keheningan. Sebab dalam diam yang bijak, ada nilai yang terjaga; dalam komunikasi yang tertata, ada martabat yang berdiri. Dan di sanalah wajah sejati kepemimpinan menemukan artinya—bukan dari seberapa sering tampil di layar, tetapi dari seberapa dalam jejak pesannya tinggal di hati publiknya.

di dalam Opini Dosen
Komunikasi yang Menjaga Marwah
Admin 14 Oktober 2025
Share post ini
Label
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar