Skip ke Konten

Di Balik Pengakuan Kebenaran: Hidayah dan Refleksi Kehidupan Kampus

Dr. Andi Nurkidam, M. Hum. (Dekan FUAD IAIN Parepare)
12 September 2025 oleh
Di Balik Pengakuan Kebenaran: Hidayah dan Refleksi Kehidupan Kampus
Suhartina
| Belum ada komentar

Sejarah peradaban Islam bukan hanya catatan kejayaan, melainkan juga cermin yang mengajak kita bertanya: mengapa kebenaran Islam sering lebih dulu diakui oleh orang luar, sementara sebagian dari kita yang lahir dan hidup dalam lingkarannya justru kadang lalai menghidupkannya? Dari abad klasik hingga modern, banyak ilmuwan Barat mengagumi Islam, baik dari sisi intelektual maupun kontribusinya bagi peradaban dunia. Namun, kekaguman itu kerap berhenti pada ranah rasional, belum sampai pada pengakuan iman.

Maurice Bucaille menjadi contoh yang menarik. Dalam karyanya The Bible, The Qur’an, and Science, ia menunjukkan keselarasan Al-Qur’an dengan sains modern, sekaligus menyoroti kontradiksi kitab lain. Temuan itu membuat banyak orang menduga ia muslim. Namun, Bucaille tetap berada pada posisi pengakuan intelektual semata. Hal serupa kita jumpai pada Michael H. Hart, yang dalam The 100 menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah. Keputusan monumental ini menegaskan bahwa bahkan bagi seorang orientalis, keagungan Rasulullah saw. tak terbantahkan. Lalu, mengapa pengakuan sebesar itu tidak berujung pada iman?

Nama Karen Armstrong menambah daftar panjang kekaguman dari luar. Sejarawan ini menulis dengan penghormatan terhadap Nabi Muhammad dan nilai-nilai Islam, meski dirinya bukan muslim. Pola yang berulang ini memberi pesan jelas: Islam dipuji dari jauh, tetapi tidak semua pujian berbuah keimanan. Ada jarak antara logika yang tergerak dan hati yang tunduk.

Fenomena serupa kadang terasa dekat di ruang-ruang akademik kita. Mahasiswa bangga mengutip Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, atau Ibnu Khaldun dalam seminar. Mereka fasih menyebut nama-nama ulama klasik, tetapi tidak selalu diiringi dengan konsistensi menjaga kejujuran akademik maupun kedisiplinan spiritual. Kekaguman pada peradaban Islam tidak serta-merta melahirkan perilaku Islami. Inilah tantangan kampus kita: pengetahuan berlimpah, tetapi penghayatannya perlu terus ditumbuhkan dengan kasih sayang dan keteladanan.

Al-Qur’an menegaskan bahwa hidayah adalah anugerah Allah. Tidak semua yang menyaksikan kebenaran diberi kemampuan untuk mengimaninya. Pengetahuan memang membuka pintu, tetapi hidayahlah yang membuat seseorang berani melangkah masuk. Oleha karena itu, kampus sebagai pusat intelektual seharusnya bukan hanya melahirkan sarjana cerdas, melainkan juga insan beriman dan berakhlak.

Di sinilah gagasan Kurikulum Cinta yang dicanangkan Menteri Agama dan digaungkan oleh Rektor menemukan makna mendalam. Cinta bukan sekadar perasaan, melainkan energi moral yang menggerakkan ilmu menuju keteladanan. Cinta pada ilmu menumbuhkan kejujuran akademik, cinta pada Rasulullah saw. melahirkan akhlak mulia, dan cinta pada kebenaran menjaga integritas. Tanpa cinta, pengetahuan berhenti sebagai tumpukan data; dengan cinta, ia menjadi cahaya yang menerangi kehidupan.

Momentum Maulid Nabi semakin menegaskan pentingnya hal ini. Rasulullah saw. dicintai bukan karena retorika, melainkan karena akhlaknya yang lembut, jujur, dan penuh kasih sayang. Jika kampus ingin menjadi pusat peradaban, semangat Maulid harus tercermin dalam kehidupan akademiknya: mengajarkan ilmu dengan kejujuran, membimbing dengan kasih, dan mendidik dengan teladan.

Pengakuan tokoh Barat terhadap Islam akhirnya memberi dua pelajaran penting. Pertama, Islam memiliki kekuatan intelektual yang kokoh, mampu diuji dengan standar modern. Kedua, pengakuan rasional itu tidak otomatis berujung pada iman. Maka, bagi kita yang hidup di dalam lingkaran Islam, pengakuan itu seharusnya menjadi cermin: jika orang luar bisa melihat cahaya Islam dari kejauhan, kita mestinya mampu memantulkannya lebih terang melalui akhlak, integritas, dan etika akademik.

Pengakuan mungkin menggugah logika, tetapi hanya hidayah yang menundukkan hati. Inilah yang membuat Islam tetap agung: ia dapat dikenali siapa saja, tetapi hanya cinta dan hidayah yang menuntun manusia untuk bersujud kepada-Nya. Oleh karena itu, kampus tidak boleh berhenti sebagai ruang produksi pengetahuan, melainkan harus menjadi rumah bagi Kurikulum Cinta; kurikulum yang menyatukan iman, ilmu, dan akhlak dalam satu tarikan napas.

di dalam Opini Dosen
Di Balik Pengakuan Kebenaran: Hidayah dan Refleksi Kehidupan Kampus
Suhartina 12 September 2025
Share post ini
Label
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar