Tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. hingga kini tetap terpelihara sebagai fenomena religius yang mengakar dalam khazanah umat Islam. Perayaan ini tidak sekadar ekspresi emosional lahir dari cinta dan nostalgia terhadap sosok Nabi, tetapi juga berfungsi sebagai sarana internalisasi nilai, aktualisasi spiritualitas, dan transmisi kultural atas warisan luhur beliau. Karena itu, reduksi makna Maulid hanya pada aspek historis-biografis kelahiran Nabi menjadi kurang memadai. Sebaliknya, Maulid harus ditempatkan sebagai media reflektif untuk memperdalam kesadaran religius, etis, dan sosial, sekaligus mengukuhkan kembali posisi Rasulullah sebagai rahmatan lil-‘ālamīn.
Dalam perspektif pemikiran Islam, baik klasik maupun kontemporer, Rasulullah saw. dipandang sebagai Insan Kamil (manusia paripurna), sosok yang menampilkan kesempurnaan eksistensial dalam dimensi spiritual, moral, sosial, dan intelektual. Beliau bukan hanya figur historis, tetapi representasi nilai-nilai transendental yang dihadirkan nyata dalam praksis kemanusiaan. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Q.S. al-Ahzab/33:21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh, pada (diri) Rasulullah terdapat teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah, hari akhir, serta banyak mengingat Allah.”
Dalam Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa istilah uswah hasanah mencerminkan keteladanan komprehensif yang meliputi ucapan, tindakan, dan orientasi hidup Nabi. Akan tetapi, keteladanan tersebut baru memiliki relevansi substansial apabila seseorang memenuhi tiga prasyarat epistemik dan spiritual: orientasi teosentris kepada Allah, kesadaran eskatologis yang menimbang konsekuensi akhirat, dan spiritualitas zikir yang senantiasa menghadirkan Allah dalam kehidupan. Dengan demikian, kecintaan terhadap Rasulullah tidak boleh berhenti pada klaim afektif, melainkan harus diwujudkan melalui transformasi etis dalam kehidupan nyata.
Maulid dapat diposisikan sebagai arena pembelajaran transformatif yang mengintegrasikan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pembacaan sirah nabawiyah, penghayatan shalawat, serta elaborasi nilai-nilai profetik berfungsi sebagai instrumen pedagogis untuk menanamkan kesadaran praksis dalam kehidupan umat. Dengan begitu, Maulid tidak seharusnya dimaknai sekadar seremoni formalistik, melainkan harus diarahkan pada kesadaran praksis, yakni menjadikan Nabi sebagai paradigma eksistensial yang aplikatif dalam konteks kehidupan kontemporer.
Kesempurnaan Nabi Muhammad saw. sebagai Insan Kamil tercermin dalam empat dimensi utama yang saling melengkapi. Pertama, dimensi spiritual-teosentris yang tampak pada intensitas ibadah, kekhusyukan doa, dan kontinuitas dzikir beliau sebagai fondasi kesempurnaan insan yang autentik. Kedua, dimensi akhlak-etik yang menjadikan Nabi personifikasi akhlak Qur’ani, sebagaimana sabdanya, “Innamā bu‘itstu li utammima makārim al-akhlaq” (Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia). Ketiga, dimensi sosial-humanistik, di mana beliau hadir sebagai agen perubahan sosial yang berpihak pada kaum marginal, membela hak-hak perempuan, dan menegakkan keadilan distributif. Keempat, dimensi intelektual-empirik yang ditegaskan melalui wahyu pertama “Iqra’”, yang meletakkan dasar tradisi literasi, rasionalitas, dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Dari perspektif epistemologis dan ontologis tersebut, Maulid dapat dimaknai sebagai momentum strategis untuk meneguhkan tauhid, menginternalisasi nilai profetik dalam akhlak, memperkuat ukhuwah Islamiyah dan insaniyah, mengembangkan karakter wasatiyyah, serta mengaktualisasikan nilai kenabian dalam menghadapi tantangan modernitas dan globalisasi.
Dengan demikian, peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. tidak layak direduksi hanya pada dimensi ritual, tetapi harus dipahami sebagai media transformasi kesadaran kolektif. Meneladani Rasulullah saw. sebagai Insan Kamil berarti menghadirkan nilai-nilai profetik dalam ranah individu, masyarakat, dan peradaban. Dengan spirit transendental dan etika kenabian, Islam akan senantiasa relevan dalam merespons dinamika zaman, sementara perayaan Maulid menjadi energi pembaruan yang menguatkan harmoni, persaudaraan, dan peradaban umat.
Maulid Nabi sebagai Momentum Meneladani Rasulullah saw. sebagai Insan Kamil