Ada nama yang tak pernah padam dari ingatan pesantren. Namanya Anregurutta K.H. Abdurrahman Ambo Dalle, biasa juga disebut di masyarakat dengan sebutan Anregurutta Ambo Dalle, seorang ulama besar yang tak hanya mengajar ilmu, tapi menyalakan iman. Suara beliau mungkin telah lama senyap, tapi nasihatnya masih menggema di ruang-ruang madrasah, di lidah para santri, di hati masyarakat Bugis-Mandar yang ia cintai.
“Bahasa Arab itu kunci ilmu dan agama. Siapa yang membukanya, terbukalah baginya pintu-pintu pemahaman Al-Qur’an.”
Begitu Gurutta berkata, dengan suara lembut yang menyelinap ke dalam kesadaran murid-muridnya. Sederhana kalimatnya, tapi di balik kesederhanaan itu tersimpan misi besar, yaitu membumikan bahasa wahyu di tanah leluhur yang sarat adat dan martabat.
Di Mangkoso, Kabupaten Barru, berdiri pesantren sederhana yang menjadi saksi bagaimana huruf-huruf Arab tumbuh bersama doa. Dari alif yang tegak hingga ya yang lembut, dari lidah para santri mengalir dzikir dan salam dalam bahasa Al-Qur’an. Di tempat inilah, Anregurutta Ambo Dalle mendidik bukan hanya kepala, tapi juga hati.
Beliau selalu berkata:
“Mengajar bukan sekadar menyampaikan ilmu, tapi menanamkan iman.”
Maka di setiap kelas bahasa Arab, yang diajarkan bukan hanya nahwu dan sharaf, tetapi juga kesabaran, ketulusan, dan cinta. Sebab bagi Anregurutta, huruf Arab bukan sekadar bentuk, tapi cahaya yang membimbing manusia memahami makna Tuhan.
Orang Bugis-Mandar dikenal dengan siri’ (kehormatan), dan lempu’ (kejujuran). Anregurutta memahami itu dengan dalam. Beliau memadukan nilai-nilai Islam dengan karakter tanah Bugis: teguh, berani, dan berprinsip.
Di madrasahnya, beliau mendidik dengan disiplin yang hangat: keras dalam prinsip, lembut dalam kasih.
“Madrasah bukan tempat mencari ijazah, tapi tempat menyiapkan diri menjadi hamba yang berguna.”
Begitu beliau menegaskan. Dan dari pesantren itulah lahir generasi yang tak hanya pandai membaca tulisan berbahasa Arab, tapi juga beradab, berjiwa dakwah, dan mengerti makna hidup dalam melayani ilmu.
Bagi Anregurutta, bahasa Arab bukan milik satu bangsa, tapi milik siapa saja yang ingin dekat dengan Al-Qur’an. Beliau selalu berkata:
“Kalau kita ingin mencintai Al-Qur’an, maka cintailah bahasa Arab. Karena siapa yang mencintai bahasa Arab, ia telah mencintai bahasa Nabi.”
Dan cinta itu tak berhenti di bibir. Ia menjelma dalam laku. Bahasa Arab tidak lagi sekadar pelajaran, tapi menjadi bahasa doa, bahasa pasar, bahasa zikir, dan bahasa hidup.
Di tangan beliau, bahasa wahyu turun ke bumi. Dari ruang-ruang kelas yang sederhana, di ruang-ruang masjid, bahasa agama (bahasa Arab) menyapa para petani, nelayan, dan pedagang. Bahasa yang dulu langit, kini telah membumi di tanah Bugis-Mandar.
Dan di titik inilah saya merenung, betapa jejak Anregurutta tidak hanya saya baca, tapi juga saya jalani. Saya menikahi seorang perempuan yang juga santriwati dari Pondok Pesantren Anregurutta; seorang alumni Pesantren DDI Mangkoso yang tumbuh dengan disiplin ilmu dan adab yang diwariskan dari sana. Melalui dirinya, saya belajar bahwa warisan Anregurutta bukan sekadar ilmu agama, tapi juga cara mencintai ilmu dengan hati yang jernih.
Sebelum akhirnya menjadi abdi negara, jalan pengabdian saya berawal di sebuah lembaga yang juga lahir dari semangat Anregurutta: Kampus Institut Agama Islam Darud Dakwah wal Irsyad (IAI DDI) Polewali Mandar Sulawesi Barat.
Selama sepuluh tahun lamanya, di kampus itu saya mengajar, mendidik, dan menyaksikan bagaimana warisan DDI tetap hidup di dada mahasiswa yang mencintai bahasa Arab dan dakwah Islam.
Dan kini, takdir membawa saya ke tempat yang lain, namun masih di bawah bayang cita-cita yang sama. Saya mengabdi sebagai abdi negara di IAIN Parepare Sulawesi Selatan, kampus yang dulu digagas dan diimpikan oleh Anregurutta Ambo Dalle sebagai bagian dari perjuangan besar mencerdaskan ummat.
Setiap kali saya melangkah di kampus IAIN Parepare ini, saya seperti berjalan di atas doa dan harapan beliau. Karena IAIN Parepare bukan sekadar institusi, tapi perpanjangan ruh perjuangan Anregurutta yang ingin menjadikan ilmu sebagai cahaya peradaban.
Kini, Anregurutta memang telah tiada. Tapi pesan-pesannya tetap hidup dalam ribuan hati yang pernah disentuhnya. Dalam setiap salam yang terucap, dalam setiap doa yang dibaca dengan fasih, dalam setiap guru yang mengajar dengan hati, di sanalah Anregurutta masih ada. Masih mengajarkan, masih membimbing, dan masih menyalakan cahaya.
“Ilmu tanpa adab seperti api tanpa cahaya, dan adab tanpa ilmu seperti cahaya tanpa arah.”
Itu bukan sekadar kalimat, tapi filosofi hidup, yaitu filosofi yang menjadi fondasi pendidikan di seluruh pesantren Darud Dakwah wal Irsyad (DDI).
Kini, perjalanan hidup dan perjuangan Anregurutta Ambo Dalle menjadi cermin bagi siapa pun yang menapaki jalan pendidikan dan dakwah. Beliau telah menunjukkan kepada kita bahwa membangun peradaban tidak selalu dimulai dari gedung yang megah, melainkan dari niat yang tulus dan ilmu yang benar. Bahasa Arab yang beliau perjuangkan bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jembatan menuju pemahaman wahyu dan pengabdian kepada Allah.
Melalui pesan-pesannya, kita belajar bahwa pendidikan sejati tidak berhenti di ruang kelas, tapi tumbuh dalam sikap, dalam tutur, dalam akhlak, dan dalam kesediaan untuk terus belajar. Bahwa tugas seorang guru bukan hanya mengajar huruf dan kalimat, tapi menanamkan keyakinan bahwa setiap ilmu adalah cahaya, dan setiap murid adalah amanah.
Warisan Anregurutta bukan hanya lembaga dan kitab, tapi spirit untuk menjaga hubungan antara ilmu, iman, dan kemanusiaan. Dan semangat itulah yang semestinya kita teruskan; di rumah, di madrasah, di kampus, dan di tengah masyarakat.
Membumikan Al-Qur’an tidak hanya berarti membaca dan menghafalnya, tetapi juga menghidupkan nilainya dalam kehidupan: dalam kejujuran seorang guru, dalam kesabaran seorang santri, dalam ketulusan seorang abdi negara. Karena pada akhirnya, pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang menumbuhkan cinta kepada Allah, kasih kepada sesama, dan penghormatan kepada ilmu.
Semoga kita semua, dalam peran kecil maupun besar, dapat melanjutkan langkah-langkah Anregurutta; menyemai ilmu dengan keikhlasan, menebar kebaikan dengan kesantunan, dan menjadikan bahasa Arab bukan sekadar bahasa langit, tetapi bahasa yang hidup dalam hati umat dan bumi tempat kita berpijak.
Bahasa Wahyu yang Membumi di Tanah Leluhur: Warisan Anregurutta Ambo Dalle di Tanah Bugis-Mandar