"Kampus adalah laboratorium bagi ide-ide yang membangun peradaban. Di sana, kita tidak hanya diajarkan ilmu, tapi juga diajak berpikir untuk mengubah dunia."— Soe Hok Gie
Hari ini, 17 September, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesadaran Nasional. Tahun ini terasa lebih istimewa, sebab bertepatan dengan 80 Tahun Kemerdekaan. Momentum ini seharusnya tidak hanya dipenuhi dengan seremoni, tetapi juga menjadi ruang refleksi: sejauh mana bangsa ini menjaga kesadaran kolektif untuk merawat ruang-ruang strategis pembangunan, termasuk kampus.
Sepanjang sejarah, kampus sering dihadapkan pada dilema: menjadi zona netral politik atau justru gerbang perubahan. Di era Orde Baru, kampus dijaga steril dari politik praktis, mahasiswa lebih sering diposisikan sebagai penonton. Namun Reformasi 1998 membuktikan hal sebaliknya: mahasiswa turun ke jalan, kampus menjadi episentrum perubahan, dan politik tak bisa lagi dipisahkan dari dunia akademik.
Kini, dua dekade lebih setelah reformasi, kita menghadapi paradoks baru. Banyak kampus memilih menjauh dari politik praktis, namun di sisi lain mahasiswa tetap mendambakan ruang politik yang sehat dan berbasis nalar. Survei LIPI menunjukkan 93% mahasiswa setuju bahwa diskusi politik seharusnya tidak berhenti pada teori, melainkan juga membahas realitas politik praktis.
Di sinilah kita perlu menimbang kembali fungsi kampus. UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus menghasilkan insan berakhlak, berilmu, dan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis itu tak mungkin lahir tanpa keberanian menyoal politik, sebab politik adalah bagian dari kehidupan sosial yang memengaruhi semua orang.
Kita bisa belajar dari tokoh seperti Soe Hok Gie, yang meyakini kampus bukan sekadar ruang kuliah, tetapi arena melawan ketidakadilan. Atau dari Anies Baswedan, yang menunjukkan bahwa akademisi pun bisa terjun ke politik untuk membawa gagasan berbasis data. Keduanya mengingatkan kita bahwa kampus tidak boleh apatis terhadap politik, melainkan harus memberi arah moral dan rasional bagi kehidupan bangsa.
Di usia 80 tahun kemerdekaan, pertanyaan besar kembali hadir: apakah kita ingin kampus tetap steril, hanya mengulang teori tanpa menyentuh realitas? Atau justru menjadikannya ruang penggerak perubahan, tempat ide-ide progresif diuji dan diwujudkan menjadi aksi nyata?
Jawaban yang tepat bukan sekadar “netral” atau “aktif”. Kampus harus netral dari kepentingan praktis, tetapi tidak boleh kehilangan keberpihakan moral. Netral bukan berarti diam; netral berarti menjaga integritas akademik, sekaligus memberi ruang bagi mahasiswa dan dosen untuk kritis terhadap realitas politik.
Hari Kesadaran Nasional 17 September ini adalah momentum untuk menegaskan kembali peran kampus. Sebagai mercusuar peradaban, kampus harus menjadi gerbang perubahan, bukan sekadar zona netral. Sebab tanpa keberanian kampus untuk menyuarakan kebenaran, kesadaran nasional yang kita rayakan hari ini hanya akan berhenti pada upacara, bukan gerakan.
80 Tahun Merdeka: Kampus Netral atau Gerbang Perubahan?