Catatan Rektor #27.
Di sudut-sudut kantor, di antara derit kursi dan aroma tinta printer yang mengering, ada makhluk kecil yang sering terlupakan: surat. Ia terdampar di meja-meja, terselip di antara tumpukan berkas yang berdebu, atau terjepit di laci yang jarang dibuka. Kadang ia hanya selembar kertas biasa—tulisan hitam di atas putih—tapi di dalamnya terkandung nasib: tugas seseorang, harapan seorang mahasiswa, atau bahkan dana yang menentukan roda sebuah institusi tetap berputar.
Surat itu bisa jadi tamu tak diundang yang terpaksa menginap. Berhari-hari ia menanti tanda tangan seorang pejabat yang entah sedang di mana. Berminggu-minggu ia terpuruk di meja staf, bersaing dengan dokumen-dokumen lain dalam antrean yang tak pernah jelas ujungnya. Bahkan, berbulan-bulan ia bisa teronggok di meja seorang pejabat, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin dan agenda rapat yang selalu bertambah, tapi tak pernah selesai.
Tapi tidak di bawah kepemimpinan Prof. Hannani. Di tangannya, surat-surat itu tak punya hak untuk bermalam. “Selesai hari itu juga,” katanya, tegas, tanpa kompromi. Prinsipnya sederhana, tapi mengguncang: kalau bisa cepat, mengapa harus lambat? Kalau bisa hari ini, mengapa ditunda hingga esok? Ini bukan sekadar aturan kantor; ini adalah manifesto. Sebuah seruan bahwa waktu adalah musuh yang tak boleh diberi celah, dan ketepatan adalah bentuk penghormatan kepada mereka yang menanti di ujung kertas itu.
Bukan cuma soal efisiensi—meski itu penting. Ini soal mentalitas, soal cara pandang terhadap tanggung jawab. Banyak institusi macet bukan karena kekurangan otak cerdas atau teknologi mutakhir. Bukan pula karena sistemnya terlalu berbelit—meski sering kali itu jadi alasan yang nyaman. Yang membunuh adalah kebiasaan menunda, budaya “nanti saja” yang diam-diam menjadi raja di balik meja-meja kayu jati. Selembar surat yang tertahan sehari bisa jadi benih kekacauan: tugas yang molor, anggaran yang terlambat cair, atau mahasiswa yang harus menjelaskan ke orang tua mengapa ijazahnya belum juga sampai.
Di dunia kampus, surat bukan sekadar kertas. Ia adalah arteri yang menghidupi birokrasi. Surat tugas dosen menentukan apakah kelas berjalan atau tidak. Surat pengajuan anggaran menentukan apakah penelitian jalan atau mati di tengah jalan. Surat rekomendasi bisa jadi kunci masa depan seorang mahasiswa—membukakan pintu beasiswa atau pekerjaan—dan surat keputusan adalah titik akhir dari sebuah proses panjang yang sering kali melelahkan. Kalau satu saja tersendat, efeknya seperti domino: satu jatuh, yang lain ikut roboh.
Birokrasi yang lambat, kata orang, adalah penyakit sistem. Tapi benarkah? Sistem hanyalah cermin dari manusia di dalamnya. Aturan bisa serumit labirin, tapi kalau ada kemauan, labirin itu bisa dilalui dalam sehari. Yang sering kali jadi penyakit bukan sistemnya, melainkan kebiasaan menumpuk kertas di meja, kebiasaan mengangguk di rapat sambil berpikir, “Ini bisa besok.” Padahal, besok adalah ilusi—ia hanya hari ini yang dipoles dengan janji kosong.
Prof. Hannani memahami ini. Di bawah tangannya, pelayanan bukan beban yang dipikul dengan keluhan, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan sebaik mungkin. Pelayanan yang baik, katanya, adalah ketika orang tak perlu menunggu lebih lama dari yang mereka sanggup. Dalam dunia akademik, ada tiga hal yang tak boleh terlalu lama tertahan: surat di meja, mahasiswa yang menanti gelar sarjananya, dan—tentu saja—tunjangan kinerja yang jadi rahasia umum sebagai penyemangat jiwa.
Ketiga hal itu ibarat napas sebuah kampus. Surat yang cepat selesai adalah tanda birokrasi yang hidup. Mahasiswa yang tak terlalu lama menunggu ijazah adalah bukti bahwa pendidikan bukan cuma janji, tapi hasil nyata. Dan tunjangan yang tepat waktu? Itu adalah pengakuan bahwa kerja keras punya harga, bahwa dedikasi tak boleh dibayar dengan penantian sia-sia.
Maka, tiada surat bermalam di meja bukan sekadar slogan. Ia adalah cermin dari sebuah kepemimpinan yang tahu bahwa kecepatan bukan soal terburu-buru, tapi soal menghargai waktu—waktu orang lain, waktu institusi, dan waktu yang tak pernah kembali. Di meja Prof. Hannani, surat-surat itu tak punya tempat untuk tidur. Mereka harus bergerak, menyelesaikan tugasnya, dan memberi jalan bagi langkah berikutnya. Sebab di dunia yang penuh penundaan ini, ada satu hal yang pasti: menunda adalah cara terbaik untuk gagal.
Parepare, 27 Ramadhan 1446 H.
Muhammad Haramain
Tiada Surat Bermalam di Meja