Di banyak tempat, ilmu itu urusan akademik. Ada kurikulum, ada buku teks, ada ujian. Selesai di kelas, selesai pula di kepala.
Tapi bagi Prof. Hannani, ilmu tidak boleh berhenti di ruang kuliah. Ia harus hidup, harus bernafas, harus bekerja. Ilmu bukan sekadar judul jurnal yang dicetak tebal, bukan sekadar SKS yang harus dilalui, dan tentu bukan sekadar gelar di belakang nama.
Di kampus ini, ilmu harus berdampak.
Sejak awal kepemimpinannya, Prof. Hannani menegaskan satu hal: ilmu agama dan ilmu umum tidak boleh bertengkar.
“Kalau ilmu agama dan ilmu umum dipisah, nanti keduanya kehilangan makna,” katanya suatu kali. Ilmu agama tanpa sains bisa ketinggalan zaman. Sains tanpa agama bisa kehilangan arah.
Maka, di kampus ini, kurikulum tidak lagi membelah ilmu dalam dua dunia yang terpisah. Fikih ekonomi harus bicara soal perbankan syariah, tafsir harus menyentuh isu sosial, pendidikan Islam harus memahami teknologi.
Karena dunia berubah. Dan ilmu harus ikut bergerak.
Banyak penelitian berakhir sebagai dokumen yang tertidur di rak perpustakaan. Lahir dengan susah payah, tapi tak pernah benar-benar dipakai.
Tapi bagi Prof. Hannani, riset tidak boleh sekadar formalitas.
Ia sering mengatakan, "Ilmu itu harus menjawab sesuatu." Kalau penelitian hanya jadi angka kredit, itu artinya ilmu belum bekerja.
Di bawah kepemimpinannya, kampus ini mendorong riset yang benar-benar punya dampak.
Bagaimana keberagamaan masyarakat berkembang? Bagaimana pendidikan Islam menghadapi era digital? Bagaimana pesantren bisa beradaptasi dengan dunia modern?
Karena penelitian yang baik bukan hanya yang panjang, tetapi yang bisa menyelesaikan sesuatu.
Di banyak kampus, mahasiswa berprestasi sering hanya diberi sertifikat dan ucapan selamat. Di sini, mereka benar-benar difasilitasi.
Di era Prof. Hannani, prestasi mahasiswa bukan hanya kebanggaan individu, tapi investasi kampus.
Ada beasiswa, ada mentoring, ada akses ke kompetisi nasional dan internasional. Karena tidak ada gunanya bakat jika tidak diberi ruang untuk tumbuh.
Tapi begitulah ilmu. Sering kali, kita tidak sadar seberapa jauh kita bisa melangkah, sampai akhirnya kita dipaksa untuk mencoba.
Bagi Prof. Hannani, ilmu bukan sekadar beban akademik. Ilmu itu harus bergerak, menjawab pertanyaan, menyelesaikan masalah.
Di IAIN Parepare, belajar bukan sekadar soal IPK tinggi, bukan hanya soal mencetak sarjana, tetapi soal bagaimana ilmu bisa berguna.
Sebab, baginya, ilmu yang baik bukan hanya yang menambah wawasan, tetapi yang bisa membuat dunia ini sedikit lebih baik.
Karena ilmu yang hanya tinggal di kepala akan mati. Tapi ilmu yang diamalkan akan terus hidup.
Parepare, 22 Ramadhan 1446 H.
Muhammad Haramain
Tafaqquh (Cendekia)