Catatan Rektor #18
Kampus itu seperti orkestra. Ada dosen-dosen yang sibuk dengan nada akademiknya, mahasiswa yang kadang harmonis, kadang fals, serta pegawai administrasi yang menentukan ritme birokrasi. Semua harus berjalan serasi. Kalau tidak, yang terdengar bukan simfoni, tapi kebisingan.
Di tengah itu semua, rektor adalah konduktor. Ia tidak perlu memainkan semua alat musik, tapi ia harus tahu kapan gesekan biola harus lebih lirih, kapan tabuhan drum perlu lebih kuat. Ia tidak harus ikut meniup trompet atau memetik gitar, tapi ia bertanggung jawab agar semua bagian berjalan sesuai panduan.
Prof. Hannani paham betul peran ini. Di podium, ia tidak perlu berteriak atau menggebuk meja untuk membuat semua orang mendengarkannya. Ia cukup tersenyum—dan entah kenapa, itu sudah cukup membuat orang berhenti sejenak. Bukan karena takut, tapi karena mereka tahu, ada sesuatu yang akan dikatakannya.
Tapi jangan salah. Senyum itu bukan berarti semua orang bisa bermain sesuka hati. Layaknya seorang konduktor, ia tahu kapan harus memberi isyarat untuk mempercepat ritme. Kalau ada kebijakan yang macet, ia tak segan mengganti tempo. Kalau ada dosen yang terlalu serius sampai lupa kalau mahasiswa juga manusia, ia bisa memberi nada humor.
Kadang, di kampus, ada yang ingin nada akademik lebih dominan, ada yang ingin birokrasi lebih fleksibel, ada yang ingin kebijakan lebih progresif. Mahasiswa ingin suara mereka lebih didengar, dosen ingin kebijakan yang berpihak kepada mereka, sementara pegawai administrasi ingin proses berjalan tanpa banyak revisi dadakan.
Nah, di sinilah kepiawaian pemimpin diuji. Seperti seorang konduktor yang menghadapi pemain trompet yang suka meniup lebih keras dari seharusnya, atau pemain drum yang terlalu bersemangat sampai menutupi suara lainnya. Ia tidak perlu menyuruh mereka diam, cukup dengan kode kecil—kadang berupa guyonan, kadang hanya anggukan—dan ritme kembali terjaga.
Namun, seperti di setiap orkestra, selalu ada pemain yang menganggap dirinya solois. Yang merasa harus tampil lebih menonjol, yang lupa bahwa ini permainan tim, bukan panggung idolanya sendiri.
Kadang ada mahasiswa yang tiba-tiba memainkan nada-nada minor di tengah harmoni mayor—mengajukan tuntutan aneh di forum akademik. Kadang ada dosen yang lebih sibuk mengatur nada orang lain daripada menyelaraskan nadanya sendiri—mencoret banyak skripsi, tapi lupa menerbitkan jurnalnya sendiri. Kadang ada pegawai yang saking menikmati ritmenya sendiri, baru sadar kalau dokumen yang seharusnya selesai hari ini sudah terjebak di tumpukan meja sejak semester lalu.
Dan di tengah itu semua, rektor tetap tersenyum.
Jika panggung orkestra ini sukses, adalah milik kita semua.
jika gagal, maka harus menjadi evaluasi bersama.
Parepare, 18 Ramadhan 1446 H.
Muhammad Haramain
Rektor = Konduktor