Catatan Rektor #17
Kalimat itu terdengar indah di seminar kepemimpinan, dikutip dalam pidato, dan ditulis besar-besar di spanduk. Tapi di dunia nyata? Tidak semua pemimpin siap menjadi pelayan. Kebanyakan lebih suka dilayani.
Seorang rektor, misalnya. Jabatan itu terdengar megah. Ruangan ber-AC, agenda penuh rapat penting, dan namanya selalu disebut dalam acara resmi. Tapi bagi Prof. Hannani, jabatan itu bukan soal kemewahan. Ia lebih seperti seorang kepala rumah makan: harus memastikan semua orang makan dengan cukup, staf bekerja dengan nyaman, pelanggan (dalam hal ini, mahasiswa) tidak kecewa, dan dapur (baca: birokrasi) tidak kebakaran.
Jika ada perjalanan dinas, Pak Rektor itu selalu gelisah jika diberi kamar hotel yang mewah oleh panitia. Ia tidak pernah merasa nyaman di kasur empuk dengan bantal bersusun, lampu temaram di sisi meja kayu yang mengilap, atau pemandangan kota dari lantai tinggi. Bagi sebagian orang, perjalanan dinas adalah kesempatan menikmati fasilitas terbaik, tetapi tidak bagi beliau.
Di kepalanya, mungkin masih tergiang keluhan mahasiswa yang merasa UKT terlalu tinggi. Mungkin juga masih terbayang wajah-wajah anak muda yang harus bekerja paruh waktu untuk sekadar bertahan kuliah. Maka, ketika perjalanan dinas tak bisa dihindari, ia memilih menginap di hotel murah, losmen sederhana, atau penginapan yang lebih akrab dengan kalangan menengah ke bawah. Pernah, ia menginap di sebuah hotel di kawasan Jakarta yang dindingnya menguning karena usia, dengan pendingin ruangan yang berbunyi seperti knalpot tua. Namun, ia tampak lebih tenang di sana. Tidak ada kegelisahan, karena kemewahan, baginya, lebih menyerupai ironi.
Maka, jangan heran kalau ada mahasiswa yang datang ke ruangannya dengan keluhan, dan ia tetap tersenyum. Jangan terkejut kalau ada dosen-tendi yang menyodorkan segudang usulan, dan ia tetap mendengar. Seorang pelayan tidak boleh cepat lelah.
Tentu, kepemimpinan semacam ini bukan tanpa tantangan. Seperti di restoran, selalu ada pelanggan yang datang bukan untuk makan, tapi untuk komplain. Ada yang merasa porsinya kurang, ada yang ingin menu berbeda, ada yang protes harga terlalu mahal.
Tapi pemimpin yang baik tahu bahwa tugasnya bukan sekadar mengisi piring, melainkan menjaga agar semua tetap merasa dihargai. Kadang dengan solusi konkret, kadang cukup dengan humor yang menghangatkan suasana.
Prof. Hannani bukan tipe pejabat yang girang jika ada undangan dinas. Ia bukan yang akan dengan ringan hati berangkat ke luar kota hanya untuk sekadar rapat koordinasi atau sosialisasi kebijakan yang, menurutnya, tidak akan berdampak banyak pada kehidupan mahasiswa. Ia malas jika perjalanan itu hanya sekadar seremonial, tanpa hasil nyata.
Kadang, sikapnya dianggap aneh oleh rekan-rekan sejawatnya. "Kenapa harus repot? Tinggal berangkat, duduk, dan pulang." Tapi Pak Rektor punya pandangan sendiri. Baginya, perjalanan dinas bukan soal tiket pesawat, hotel berbintang, atau uang harian. Ia lebih memilih tetap berada di kampus, berdiskusi dengan para dosen, tendik dan mahasiswa, atau sekadar duduk, mendengar langsung cerita mereka.
Mungkin, di sanalah tempatnya. Di antara mereka yang masih berjuang, di tengah keluhan UKT yang tinggi, di lingkungan tempat ia merasa lebih punya dampak. Karena untuknya, perjalanan dinas yang paling penting adalah perjalanan menuju perubahan, bukan sekadar perjalanan fisik yang menghabiskan anggaran.
Kalau ada yang masih bertanya, “Benarkah pemimpin itu pelayan?”
Jawabannya sederhana: coba saja cari pemimpin yang lebih sering cemberut atau marah-marah daripada tersenyum. Biasanya, yang seperti itu bukan lagi pelayan—tapi lebih mirip kepala keamanan.
Parepare, 17 Ramadhan 1446 H.
Muhammad Haramain
Pemimpin itu Pelayan