Catatan Rektor #25.
Ada orang yang murah hati dengan kata-kata, pandai memberi janji tanpa merasa perlu menepatinya. Tapi ada pula orang yang murah hati dalam diam, tangannya bergerak tanpa banyak bicara. Prof. Hannani termasuk tipe kedua. Sebagai rektor, ia sadar betul bahwa kampus bukan hanya ruang teori dan diskusi panjang yang terkadang terasa kering—tetapi juga medan perjuangan nyata. Sebuah perjuangan yang tidak melulu besar, namun justru sering hadir lewat perkara-perkara kecil yang tak tercatat di atas kertas.
Bagi Prof. Hannani, perjuangan itu bisa berwujud mahasiswa yang membawa proposal kegiatan dengan wajah ragu dan keluar ruangan sambil tersenyum lepas—bukan semata karena tanda tangan persetujuan, tetapi juga karena sebuah amplop kecil yang ia sebut sebagai “ongkos perjuangan”. Tidak ada aturan birokrasi di sana, hanya empati sederhana seorang pemimpin yang tahu bahwa idealisme sering kali butuh pendamping—rupiah yang secukupnya untuk sekadar menggerakkan roda aktivisme. Ia percaya, api perjuangan memang tidak pernah boleh padam, tetapi api pun kadang perlu minyak agar tetap menyala.
Bukan cuma mahasiswa yang merasakan kedermawanannya. Dosen-dosen muda yang mampir ke ruangannya pun kerap pulang dengan senyum tertahan, kadang karena sebungkus rokok yang diberikan. Jangan salah sangka, bukan tentang seberapa mahal rokoknya, tetapi tentang gestur seorang pemimpin yang mengerti bahwa mengajar kadang membuat hati lelah, dan lelah itu bisa reda hanya dengan duduk sebentar, bercakap ringan, ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok.
Kepemimpinan, baginya, bukan hanya tentang strategi besar dan keputusan monumental. Memimpin juga berarti tahu kapan harus diam, kapan harus mendengar, dan kapan saatnya mengulurkan tangan. Dan revolusi besar, dalam sejarahnya, lebih sering lahir dari perbincangan santai di warung kopi daripada rapat-rapat formal yang membosankan. Sebatang rokok, secangkir kopi, dan amplop kecil tadi adalah saksi bisu bahwa perjuangan besar sering kali dimulai dari hal-hal sederhana, dari hati yang tulus, bukan dari pidato yang panjang.
Karena pada akhirnya, perjuangan memang selalu butuh ongkos—kadang besar, kadang kecil. Dan Prof. Hannani tahu betul bahwa ongkos itu bukan sekadar urusan uang, tapi tentang rasa percaya, penghargaan, dan ketulusan. Sebab di tangan pemimpin seperti dirinya, kampus bukan cuma tempat belajar, melainkan tempat memulai perubahan.
Seperti disebutkan sebelumnya, seringkali revolusi besar sering kali dimulai dari obrolan kecil di warung kopi, dengan satu-dua batang rokok sebagai saksi.
Parepare, 25 Ramadhan 1446 M.
Muhammad Haramain
Ongkos Perjuangan