Catatan #19
Ada satu kebiasaan mahasiswa yang tidak pernah berubah dari zaman batu hingga zaman digital: mencari cara tercepat untuk menyelesaikan tugas.
Dulu, itu berarti fotokopi catatan teman. Sekarang, itu berarti membuka AI, mengetik “buatkan esai 1000 kata tentang Maqashid Syariah”, dan menekan enter. Hasilnya? Lima detik kemudian, tugas yang seharusnya dikerjakan seminggu selesai dalam sekali klik.
Canggih? Jelas. Tapi ada satu pertanyaan penting: Lalu, mahasiswa belajar apa?
Dalam suatu kesempatan, Prof. Hannani banyak mengajak diskusi soal topik ini.
AI memang bisa melakukan banyak hal. Ia bisa mencari referensi dalam hitungan detik, menganalisis tren dengan akurasi tinggi, bahkan menulis laporan dengan tata bahasa lebih rapi daripada sebagian besar mahasiswa.
Tapi AI tidak bisa memahami makna.
Ia tidak tahu apakah argumen yang ia susun itu relevan. Ia tidak peduli apakah logikanya nyambung. Ia hanya mengolah data, tanpa benar-benar berpikir.
Dan kalau mahasiswa mulai bergantung sepenuhnya pada AI? Itu bukan lagi eksplorasi, tapi sekadar outsourcing otak ke mesin.
Mahasiswa yang cerdas bukan yang sekadar tahu bagaimana menggunakan AI, tapi yang tahu bagaimana menggunakan AI dengan benar.
Butuh ide skripsi? AI bisa kasih daftar topik berdasarkan tren riset terbaru, tapi mahasiswa tetap harus memilih mana yang menarik dan layak dikaji.
Bingung dengan konsep rumit? AI bisa merangkum teori ekonomi dalam dua paragraf singkat, tapi mahasiswa tetap harus memahami dan menjelaskan dengan bahasa sendiri.
Perlu analisis data? AI bisa membaca ribuan data dalam waktu singkat, tapi mahasiswa yang harus menarik kesimpulan, melihat konteks, dan menyusun argumen.
AI bisa menyiapkan bahan mentah, tapi mahasiswa tetap harus memasaknya. Kalau semuanya cuma copy-paste, maka hasil akhirnya bukan lagi pemikiran, melainkan sekadar nasi bungkus akademik: cepat, praktis, tapi hambar.
Mari kita realistis. AI tidak bisa dihindari. Juga banyak mahasiswa yang benar-benar menikmati mengerjakan tugas. Tapi di situlah proses belajarnya terjadi: ketika mereka berusaha memahami, menyusun argumen, mencari solusi.
AI bisa membantu, tapi kalau mahasiswa mulai menyerahkan semua proses berpikir kepada AI, maka mereka bukan lagi sedang belajar. Mereka hanya sedang menjadi operator mesin pintar.
Gunakan AI, manfaatkan AI, eksplorasi AI. Tapi jangan sampai AI jadi dalih untuk berhenti berpikir.
Mahasiswa yang baik bukan yang tahu bagaimana menekan enter di ChatGPT, tapi yang tahu bagaimana menggunakan AI untuk memperkaya pemahamannya, bukan menggantikannya.
Tapi sampai hari ini, AI belum bisa menjawab pertanyaan klasik pak rektor ke dosen-dosen muda: “Kapan menikah?”
Dan jika ditanya: “Bagaimana cara mempercepat jodoh?”
Ya… AI mungkin bisa menjelaskan teori psikologi sosial, statistik angka pernikahan, bahkan algoritma pencocokan pasangan. Sembari bertanya balik, “Butuh bantuan komunikasi calon mertua?”
Hubungi rektor anda, Prof. Hannani..
Parepare, 19 Ramadhan 1446 H.
Muhammad Haramain
ChatGPT