Catatan Rektor #28.
Catatan Retor #28.
Prof. Hannani, Rektor IAIN Parepare, memang dikenal dengan senyum lebarnya yang tak pernah pudar, seakan hidup ini terlalu ringan untuk dibuat susah. Seorang kolega dari Universitas Hasanuddin pernah menyebutnya "a smiling rector", julukan yang pas untuk sosok yang selalu membawa keceriaan di tengah keseriusan akademik kampus. Mungkin ini ada hubungannya dengan filosofi nama pemberian orang tuanya, "Hannan", yang dalam bahasa Arab berarti kelembutan dan kasih sayang—sebuah cerminan yang hidup dalam caranya memimpin. Dengan tawa yang menggema dan sikap terbuka, ia menjadikan kampus bukan hanya tempat belajar, tapi juga ruang untuk bernapas lega. Karena untuk bahagia, tak harus rumit untuk dirasa.
Di kampus, wajah serius adalah pemandangan sehari-hari, ibarat udara yang dipaksa kita hirup. Mahasiswa berlari mengejar skripsi yang seolah-olah punya nyawa sendiri—selalu kabur di detik terakhir. Dosen gelisah menanti tunjangan kinerja yang datangnya lebih lambat dari kereta ekonomi di musim hujan. Pegawai administrasi, dengan sabar tapi penuh keluh, bergulat dengan tumpukan administrasi yang tiada habisnya. Semua orang sibuk, semua orang tertekan—kecuali satu orang. Di tengah lautan wajah muram itu, Prof. Hannani berdiri seperti oase: tersenyum, tertawa, dan entah bagaimana, membawa secercah ringan di tempat yang biasanya berat.
Ia bukan rektor biasa. Bukan yang berdiri kaku di podium, membaca pidato dengan nada datar sambil memamerkan wibawa yang dipahat dari marmer. Bukan pula yang lelet jalannya, sengaja membuat orang-orang di sekitar mendadak diam seolah ada malaikat lelet yang lewat. Prof. Hannani justru kebalikannya. Ia bisa tertawa lepas sampai ruangan bergema, bercanda dengan mahasiswa soal dosen yang galak, atau ngobrol panjang dengan staf tentang hal-hal remeh yang biasanya luput dari perhatian seorang pemimpin. Di tangannya, kampus tak lagi cuma gedung beton penuh aturan—tapi ruang hidup yang sedikit lebih manusiawi.
Ada yang bilang, sebagai pemimpin, rektor harus tegas. Harus berwibawa. Harus sedikit jauh di mata, sulit disentuh, seperti patung di museum yang cuma boleh dilihat dari kejauhan. Tapi bagi Prof. Hannani, pemimpin bukan patung. Pemimpin adalah teman—yang menemani, mendengar, dan kalau perlu, ikut tertawa saat hidup terasa terlalu absurd untuk ditangisi. Ia tak keberatan duduk berjam-jam di ruang kerjanya, mendengar keluh kesah mahasiswa yang tercekik birokrasi, mendiskusikan ide-ide gila dosen yang tak masuk akal tapi mungkin genius, atau sekadar bercanda soal betapa ruwetnya mengurus surat yang seharusnya selesai dalam sehari.
Senyum dan tawanya bukan pelarian dari masalah. Bukan pula topeng untuk menyembunyikan kekacauan. Itu adalah caranya berkata, “Hidup memang sulit, tapi kita tak perlu membuatnya lebih sulit dengan muka masam.” Di IAIN Parepare, rektornya bisa Anda temui kapan saja—bahkan selepas Maghrib pun ia masih ada di kantor, menyambut tamu dengan tangan terbuka. Persis sosok Kyai yang standby 24 jam di pondoknya, selalu siap sedia untuk siapa saja yang membutuhkan. Ia tak hanya duduk di kursi empuk dengan gelar mentereng, tapi hadir di mana-mana, membawa senyumnya seperti lentera di malam gelap.
“Aneh,” kata sebagian orang, “pemimpin kok bercanda melulu?”
Kenapa tidak? Hidup ini sudah penuh drama—dari deadline yang mencekik sampai anggaran yang tersendat—tanpa harus ditambah dengan wajah serius yang membuat jantungan. Lagipula, kampus bukan cuma soal angka IPK, jurnal terindeks, atau akreditasi Unggul. Kampus adalah tempat manusia bertumbuh, tempat jiwa-jiwa muda mencari arti, tempat dosen dan staf menghabiskan separuh hidup mereka. Kalau para pemimpinnya saja selalu cemberut, bagaimana orang-orang di dalamnya bisa bernapas lega? Bagaimana mahasiswa bisa belajar kalau udara di sekitarnya penuh tekanan?
Tentu, senyum tak bisa menyelesaikan semua masalah. Tawa tak akan membuat tukin tiba-tiba cair atau skripsi selesai dalam semalam. Tapi setidaknya, di tangan Prof. Hannani, senyum itu jadi jembatan. Jembatan antara pemimpin dan yang dipimpin, antara aturan kaku dan kehidupan nyata, antara birokrasi yang dingin dan hangatnya perhatian. Ia memastikan bahwa di tengah segala keruwetan akademik—dari regulasi yang membingungkan sampai antrean panjang di loket administrasi—kampus ini tetap punya ruang untuk bahagia.
Maka, di kampus yang biasanya penuh ketegangan, ada satu sosok yang membuktikan bahwa memimpin tak harus dengan dahi berkerut. Prof. Hannani, dengan senyum dan tawanya, mengajarkan satu hal sederhana: kadang, cara terbaik menghadapi dunia yang keras adalah dengan menghadapinya dengan filosofi “jama-jamang lino” (ini hanya dunia, jangan terlalu serius), seperti yang biasa ia sebutkan, sambil tertawa. Dan di kantornya yang nyaris tak pernah sepi, ia menunjukkan bahwa pemimpin sejati tak cuma hadir di forum akademik, tapi juga di hati orang-orang yang dipimpinnya.
Parepare, 28 Ramadhan 1446 H.
Muhammad Haramain
A Smiling Rector