Kitab kuning bukan sekadar teks klasik. Ia adalah bukti keterhubungan pesantren Nusantara dengan jaringan keilmuan Islam global sejak abad ke-16. Dari lembaran-lembarannya lahir corak Islam yang ramah, kontekstual, dan membumi—sebuah wajah peradaban yang hingga kini tetap menjadi fondasi kehidupan beragama kita.
Dalam hitungan hari, Pesantren As’adiyah Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan akan menjadi tuan rumah Musabaqah Qiraatul Kutub, lomba membaca kitab kuning yang mempertemukan para santri dari berbagai penjuru. Perhelatan ini bukan sekadar ajang lomba, melainkan simbol hidupnya tradisi literasi Islam klasik di tengah derasnya arus digital.
Bagi banyak orang awam, kitab kuning kerap tampak asing: huruf Arab tanpa harakat, berjilid tebal, penuh istilah. Namun, bagi santri, kitab kuning adalah rumah ilmu, taman hikmah, sekaligus sumber moral. Tradisi membaca kitab kuning adalah dialog lintas zaman. Dari teks-teks itu, pesantren Nusantara sejak dahulu menghubungkan diri dengan pusat keilmuan Islam di Timur Tengah, sembari melahirkan corak keislaman khas yang akomodatif terhadap budaya lokal.
Secara akademik, praktik ini dapat dijelaskan melalui teori transmisi tradisi (Anthony Giddens) bahwa warisan tidak pernah statis, melainkan terus dihidupkan melalui praktik sosial. Membaca kitab kuning adalah praktik kultural yang menyambungkan masa lalu dengan masa kini. Dalam perspektif habitus (Pierre Bourdieu), kitab kuning melahirkan pola pikir dan etos santri: tekun, tawadu, dan beradab, sedangkan menurut Durkheim, pesantren dan kitab kuning berfungsi sebagai perekat moral masyarakat, menjaga kohesi sosial di tengah perubahan zaman.
Musabaqah ini lalu menghadirkan pesan penting: santri tidak hanya diuji kecakapannya dalam membaca teks, tetapi juga ditantang memahami konteks—menerjemahkan kebijaksanaan ulama terdahulu ke dalam realitas hari ini.
Al-Qur’an menegaskan: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11). Ayat ini seolah menyapa para santri: menekuni kitab kuning bukan sekadar latihan intelektual, tetapi jalan menuju kemuliaan.
Rasulullah saw. pun bersabda: “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim). Dengan demikian, ketekunan santri dalam menelaah kitab klasik adalah ibadah, perjuangan spiritual, sekaligus investasi peradaban.
Lebih dari itu, Musabaqah Qiraatul Kutub menegaskan kembali peran pesantren sebagai benteng moral bangsa. Di pesantren, kitab kuning tidak berhenti sebagai teks untuk dibaca, melainkan diamalkan dalam kehidupan. Dari santri, kita belajar ketekunan, adab, serta kemampuan menghubungkan warisan klasik dengan tantangan modernitas. Perhelatan Musabaqah Qiraatul Kutub adalah pernyataan kultural sekaligus spiritual: bahwa tradisi pesantren tetap hidup, kitab kuning tetap relevan, dan santri akan terus menjadi penjaga warisan peradaban Islam yang menuntun masa depan umat.
Santri Membaca Peradaban: Menakar Makna Musabaqah Qiraatul Kutub