Skip ke Konten

Maulid Nabi di Mamasa: Sakralitas yang Menyulam Integrasi Sosial

Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama, IAIN Parepare)
7 September 2025 oleh
Maulid Nabi di Mamasa: Sakralitas yang Menyulam Integrasi Sosial
Hamzah Aziz
| Belum ada komentar

Fenomena ini penulis potret sepanjang penelitian lapangan di Mamasa, dan rasanya terlalu berharga jika hanya disimpan dalam catatan pribadi, ia perlu disebarkan sebagai cermin kebersamaan, role model kerukunan yang layak direnungkan oleh siapa pun  yang rindu akan perdamaian dan kerukunan umat beragama. Sebagai bangsa yang plural, tentu penting untuk selalu menebarkan praktik humanisme sebagai nilai universal yang diusung agama-agama.

Beberapa wilayah di Kabupaten Mamasa pernah berdiri di persimpangan sejarah yang getir. Pemekaran wilayah dari Polewali Mamasa pada awal tahun 2000-an tidak hanya melahirkan kabupaten baru, tetapi juga menyalakan api konflik. Persoalan politik dan perebutan ruang kuasa menjelma menjadi pertarungan identitas, dan dari sanalah percikan itu merembes ke ranah agama. Ketegangan antara komunitas Kristen yang mayoritas dan umat Muslim yang minoritas membekas sebagai luka sosial yang panjang. Pertentangan yang semula soal administrasi berubah menjadi isu sakral, membawa nama Tuhan ke dalam gelanggang yang sesungguhnya duniawi.

Namun waktu terus berjalan, dan masyarakat Mamasa pelan-pelan belajar bahwa hidup tidak bisa selamanya dibiarkan retak. Di antara kerikil sejarah itu, tumbuh sebuah jalan rekonsiliasi yang sederhana namun penuh makna: perayaan Maulid Nabi Muhammad. Di wilayah yang mayoritas non-Muslim, Maulid tidak hanya berhenti sebagai ritual keagamaan umat Islam, tetapi juga menjelma menjadi ruang sosial, sebuah jembatan halus untuk merajut kembali persaudaraan yang sempat terbelah.

Di sekolah-sekolah negeri, terutama di Kota Mamasa misalnya, perayaan Maulid menjadi ajang yang melibatkan semua kalangan. Anak-anak Muslim menghafal selawat, sementara teman-teman Kristen mereka menyiapkan dekorasi atau membantu membawa hidangan. Ruang kelas yang biasanya penuh dengan papan tulis dan buku berubah menjadi arena perjumpaan, tempat sakralitas Islam berdampingan dengan keramahan budaya Mamasa. Demikian pula di kantor-kantor pemerintahan, perayaan Maulid sering dihadiri oleh pejabat non-Muslim yang memberikan sambutan, menegaskan bahwa perayaan ini adalah bagian dari kekayaan sosial, bukan sekadar agenda kelompok.

Sakralitas dalam Maulid di Mamasa tidak berhenti pada makna ritual. Ia melebar, menyeberangi batas iman, dan diterima sebagai ruang kebersamaan. Ceramah agama yang biasanya hanya ditujukan untuk umat Islam, di sini juga didengarkan dengan khidmat oleh mereka yang berbeda keyakinan. Sosok Nabi Muhammad disebut bukan hanya sebagai rasul umat Islam, tetapi juga sebagai teladan kemanusiaan. Di titik inilah, yang sakral berubah menjadi milik bersama, tanpa kehilangan makna religiusnya.

Pergeseran makna itu penting dalam konteks Mamasa yang pernah luka. Konflik pemekaran wilayah yang merembes ke isu agama menunjukkan betapa rentannya masyarakat ketika identitas dipertarungkan. Namun Maulid menghadirkan jalan lain: bahwa sakralitas agama bisa ditarik ke ranah sosial, menjadi wadah untuk belajar hidup bersama. Anak-anak yang tumbuh dengan pengalaman ikut dalam Maulid, meski berbeda keyakinan, akan memiliki kenangan indah tentang kerukunan. Mereka belajar sejak dini bahwa agama orang lain bukanlah ancaman, melainkan undangan untuk saling mengenal.

Dalam proses ini, tokoh agama memainkan peran yang sangat menentukan. Para ustaz, pendeta, maupun imam jemaat sering hadir dalam forum-forum dialog sebelum atau sesudah perayaan, menyampaikan pesan agar umat tidak terjebak dalam ingatan lama, melainkan membangun persaudaraan baru. Seorang ustaz yang memberikan ceramah Maulid, misalnya, kerap menekankan bahwa Nabi Muhammad mengajarkan akhlak mulia bukan hanya untuk umat Islam, tetapi untuk seluruh manusia. Sebaliknya, tokoh Kristen di Mamasa sering mengapresiasi perayaan ini sebagai bagian dari kekayaan budaya lokal yang memperkuat nilai persaudaraan.

Tokoh masyarakat pun tidak tinggal diam. Tetua adat dan pemimpin komunitas mengambil peran dengan menghadiri atau mendukung pelaksanaan Maulid. Kehadiran mereka bukan hanya simbolis, melainkan juga peneguhan bahwa tradisi ini adalah milik bersama. Mereka memastikan bahwa ruang publik tetap aman dan inklusif, bahwa warga merasa nyaman merayakan kebersamaan meskipun berbeda iman. Dalam struktur sosial Mamasa yang kental dengan ikatan kekerabatan, peran tokoh masyarakat inilah yang menjadi penghubung penting antara kelompok yang pernah renggang.

Di tingkat kelembagaan, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Mamasa juga memainkan peranan kunci. FKUB aktif memfasilitasi komunikasi lintas agama, mengawal agar acara-acara keagamaan seperti Maulid berlangsung damai, serta mendorong pejabat pemerintah untuk hadir sebagai bentuk dukungan moral. Dalam banyak kesempatan, FKUB menjadi jembatan yang meredam kesalahpahaman. Mereka tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi turut menjadi motor integrasi sosial.

Tidak kalah penting, Maulid di instansi pemerintahan menjadi simbol kehadiran negara dalam melindungi keragaman warganya. Kepala dinas atau camat yang non-Muslim bisa berdiri memberi sambutan, sementara ustaz atau tokoh Islam menyampaikan pesan damai lintas agama. Kehadiran dua suara ini memperlihatkan bahwa rekonsiliasi tidak hanya terjadi di tingkat masyarakat, tetapi juga di tingkat simbolik negara. Dengan demikian, Maulid menjadi bagian dari infrastruktur perdamaian yang menjaga Mamasa agar tidak kembali terperosok ke masa lalu yang penuh konflik.

Sosiologi mengajarkan bahwa masyarakat pascakonflik membutuhkan simbol baru untuk membangun kohesi. Simbol itu bisa hadir dalam bentuk perayaan, ritus, atau narasi kolektif yang menyatukan. Di Mamasa, Maulid Nabi memainkan peran itu. Ia mengubah sebuah perayaan religius menjadi pesta sosial, mengajarkan bahwa damai tidak dibangun lewat teori, melainkan lewat praktik kebersamaan sehari-hari.

Tentu tidak semua orang memandang hal ini dengan penuh penerimaan. Masih ada suara-suara sumbang yang menganggap kehadiran non-Muslim dalam Maulid sebagai bentuk pencampuradukan. Namun pengalaman di Mamasa menunjukkan bahwa praktik kebersamaan jauh lebih kuat daripada kecurigaan. Setiap tahun perayaan berlangsung tanpa gesekan berarti, bahkan semakin mempertegas kesadaran bahwa tradisi ini adalah salah satu kunci menjaga harmoni.

Dari perspektif lebih luas, Maulid di Mamasa adalah cermin bagaimana masyarakat multikultural Indonesia mengelola perbedaan. Ia menunjukkan bahwa integrasi sosial tidak lahir dari slogan “Bhinneka Tunggal Ika” semata, tetapi dari pengalaman nyata di ruang publik. Sakralitas agama, yang biasanya dipandang sebagai milik eksklusif, di sini dimaknai ulang sebagai perekat sosial. Inilah wajah agama yang inklusif: tetap setia pada ajarannya, tetapi sekaligus terbuka untuk berbagi dengan yang lain.

Di pegunungan Mamasa yang sejuk, Maulid Nabi menjadi nyala hangat yang menghidupkan kembali harapan. Dari perayaan yang sederhana, masyarakat belajar untuk melahirkan kembali dirinya sebagai komunitas yang utuh. Dari ruang kelas kecil dan aula pemerintahan, pesan damai menyebar ke pelosok-pelosok kampung. Dari luka konflik pemekaran yang dulu merembes ke isu agama, lahirlah sebuah kesadaran bahwa perbedaan bukan alasan untuk berpisah, melainkan undangan untuk bertemu.

Maulid Nabi di Mamasa telah berfungsi sebagai ruang simbolik untuk menguji kembali relasi antar iman. Apakah umat Islam mampu membuka ruangnya bagi yang lain? Apakah umat non-Muslim mampu hadir tanpa curiga? Apakah pemerintah mau mengambil risiko politik untuk memfasilitasi keragaman? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu tampak nyata setiap kali Maulid dirayakan bersama: ya, Mamasa telah membuktikannya.

Dari sini kita belajar bahwa Maulid Nabi di Mamasa bukan hanya perayaan religius, melainkan juga rekayasa sosial yang menyembuhkan. Ia menjembatani ruang sakral dan ruang publik, mempertautkan iman dan kebersamaan, sekaligus merekatkan luka sejarah yang pernah membelah masyarakat. Dalam gema shalawat yang terdengar di aula sekolah negeri atau kantor pemerintahan, kita menemukan pesan yang lebih luas: bahwa iman, jika dinegosiasikan dengan kearifan, justru mampu melahirkan integrasi sosial yang lebih kokoh. Mamasa memberi kita pelajaran penting: Maulid Nabi tidak hanya dirayakan, tetapi juga dihidupi sebagai jalan menuju kerukunan.

Akhirnya, Maulid Nabi di Mamasa tidak hanya tentang mengenang kelahiran Rasulullah, tetapi juga tentang kelahiran cara baru dalam hidup bersama. Ia adalah sakralitas yang menyulam integrasi sosial, mengingatkan kita semua bahwa agama, bila dihayati dengan terbuka, selalu memiliki ruang untuk menjadi jembatan perdamaian.

Maulid Nabi di Mamasa: Sakralitas yang Menyulam Integrasi Sosial
Hamzah Aziz 7 September 2025
Share post ini
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar