Skip ke Konten

Kepahlawanan dalam Menegakkan Keadilan Syariah (Antara Spirit Normatif dan Nilai Kemanusiaan dalam Krisis Sosial Modern)

Prof. Dr. Hannani, M. Ag. (Rektor IAIN Parepare)
10 November 2025 oleh
Kepahlawanan dalam Menegakkan Keadilan Syariah (Antara Spirit Normatif dan Nilai Kemanusiaan dalam Krisis Sosial Modern)
Admin
| Belum ada komentar

1. Krisis Kemanusiaan di Balik Formalitas Hukum

Kita hidup di zaman di mana hukum semakin sering disebut, tetapi keadilan kian jarang dirasakan. Di tengah arus globalisasi dan gempuran digital, dunia Muslim menghadapi krisis kemanusiaan yang pelik: meningkatnya intoleransi, kekerasan berbasis agama, polarisasi sosial, dan penyempitan makna keislaman.

Ironisnya, semua itu sering diklaim sebagai bentuk “menegakkan syariah.” Di ruang publik, agama yang sejatinya rahmat berubah menjadi senjata ideologis. Ayat-ayat yang seharusnya menyejukkan justru dijadikan pembenaran untuk menghukum, menolak, bahkan menghapus yang berbeda. Fenomena ini menunjukkan gejala yang oleh Jürgen Habermas disebut sebagai distorsi komunikasi public, ketika bahasa moral dan religius disalahgunakan oleh kepentingan kekuasaan, sehingga pesan etis agama kehilangan maknanya.

Padahal, syariah bukanlah hukum dalam arti sempit, melainkan jalan menuju kehidupan yang baik (ṭarīq ilā al-ḥayāt al-ṭayyibah). Ia lahir bukan untuk menakut-nakuti manusia, melainkan untuk memuliakannya. Maka, kepahlawanan sejati dalam konteks ini bukanlah keberanian menegakkan teks secara literal, tetapi kemampuan menghadirkan keadilan Tuhan dalam realitas sosial manusia.

 

2. Maqāṣid al-Syarī‘ah: Ruh yang Menghidupkan Teks

Imam al-Syāṭibī (w. 790 H) dalam al-Muwāfaqāt menegaskan bahwa syariah bertujuan mencapai kemaslahatan (maṣlaḥah) dan mencegah kerusakan (mafsadah). Inti dari hukum Islam adalah menjaga lima kebutuhan primer manusia: agama (ḥifẓ al-dīn), jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan harta (ḥifẓ al-māl).

Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Ibn ‘Āshūr dan Jasser Auda menjadi paradigma hukum yang bersifat dinamis dan multidimensi. Auda bahkan menyebut maqāṣid sebagai “the living heart of Islamic law”  jantung hidup hukum Islam yang harus terus berdetak di setiap ruang dan zaman.

Artinya, pahlawan hukum dalam perspektif maqāṣid bukanlah mereka yang hanya menghafal teks, tetapi yang memahami tujuan moral di baliknya. Mereka menegakkan hukum bukan sekadar untuk memastikan kepatuhan formal, tetapi untuk mewujudkan kesejahteraan spiritual dan sosial. Dalam pandangan maqāṣidiyyah, hukum bukan tujuan, melainkan jalan menuju kemaslahatan manusia.

 

3. Spirit Normatif: Keteguhan Moral yang Menyelamatkan

Kepahlawanan normatif adalah keberanian menegakkan kebenaran meski harus berhadapan dengan arus kekuasaan. Dalam sejarah Islam, kita mengenal Umar bin Khattab yang menegur pejabatnya dengan kalimat legendaris: “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan merdeka oleh ibunya?” Itulah puncak maqāṣid: menjunjung tinggi martabat manusia.

Namun, keteguhan ini sering disalahpahami sebagai kekakuan. Banyak kalangan menegakkan hukum dengan wajah keras, seolah Tuhan adalah hakim yang murka, bukan Maha Pengasih. Padahal, Nabi Muhammad ﷺ menegakkan hukum dengan hikmah dan kasih. Ketika seorang wanita pencuri dari kalangan bangsawan dibawa kepadanya, beliau menolak intervensi tapi tetap menegakkan hukum secara adil,  tegas, tapi tidak tanpa empati.

Spirit normatif sejati tidak berhenti pada teks, tetapi melampauinya menuju maqāṣid menegakkan hukum dengan niat ibadah, bukan ambisi politik. Di sinilah kejujuran moral diuji: apakah hukum menjadi sarana kasih Tuhan, atau sekadar alat kekuasaan manusia?

 

4. Nilai Kemanusiaan: Rahmah sebagai Wajah Keadilan

Syariah tanpa rahmah hanyalah hukum tanpa jiwa. Nabi ﷺ datang bukan sekadar sebagai penegak hukum, tetapi sebagai rahmatan lil ‘ālamīn. Itulah prinsip kemanusiaan yang harus mengalir dalam setiap keputusan hukum.

Dalam perspektif maqāṣid, ḥifẓ al-nafs (menjaga jiwa) berarti melindungi setiap bentuk kehidupan, bahkan yang berbeda keyakinan. Ḥifẓ al-‘aql (menjaga akal) berarti mendorong kebebasan berpikir, bukan mengekangnya. Ḥifẓ al-māl (menjaga harta) menuntut sistem ekonomi yang adil, bukan eksploitatif. Semua ini menunjukkan bahwa syariah sejati tidak pernah berjarak dari kemanusiaan.

Namun, realitas hari ini menampilkan paradoks: atas nama syariah, sebagian orang justru menindas sesama manusia. Hukum yang seharusnya menjadi instrumen rahmah berubah menjadi simbol kekuasaan. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui Pierre Bourdieu: ketika simbol-simbol agama dipakai untuk menegaskan dominasi sosial, terjadilah kekerasan simbolik (symbolic violence), kekerasan yang halus tapi mematikan.

Pahlawan sejati adalah mereka yang berani menghentikan kekerasan ini dengan menghidupkan kembali ruh rahmah. Mereka tahu bahwa keadilan yang tidak berjiwa kasih hanyalah legalisme yang beku.

 

5. Krisis Sosial dan Kehilangan Pahlawan Moral

Sosiolog Émile Durkheim menyebut fenomena kekacauan nilai dalam masyarakat modern sebagai anomie, keadaan tanpa pegangan moral. Kita menyaksikan anomie religius: ketika masyarakat kehilangan arah antara ketaatan dan kemanusiaan. Banyak yang saleh dalam ritual, tetapi kering dalam etika sosial.

Anthony Giddens menambahkan, modernitas menciptakan disembedding mechanisms pelepasan nilai agama dari konteks spiritualnya, menjadikannya komoditas sosial dan politik. Maka tak heran, muncul “pahlawan digital” yang pandai mengutip ayat, tetapi miskin kasih; berteriak tentang hukum Tuhan, tetapi menindas ciptaan-Nya.

Inilah krisis kepahlawanan moral: manusia beragama yang kehilangan maqāṣid, negara yang kehilangan keadilan, dan masyarakat yang kehilangan rasa malu. Maka, kepahlawanan baru harus lahir dari rahim maqāṣid, kepahlawanan yang berpihak pada kemaslahatan, bukan pada ideologi sempit.

 

6. Maqāṣid sebagai Terapi Sosial

Teori maqāṣid tidak hanya menjelaskan hukum; ia menyembuhkan masyarakat. Ia adalah metode rekonstruksi moral dan sosial yang dapat menjawab berbagai krisis kontemporer.

  1. Menjaga Jiwa (ḥifẓ al-nafs) berarti melawan ekstremisme dan kekerasan atas nama agama. Dalam konteks kekinian, ini mencakup perlindungan terhadap korban intoleransi, perempuan, dan anak-anak yang tertindas oleh struktur sosial yang patriarkal.
  2. Menjaga Akal (ḥifẓ al-‘aql) berarti memperkuat literasi, berpikir kritis, dan menghindari manipulasi informasi. Di era digital, ini menjadi jihad intelektual melawan hoaks, propaganda agama, dan polarisasi sosial.
  3. Menjaga Agama (ḥifẓ al-dīn) berarti membebaskan agama dari komodifikasi politik. Agama bukan alat partai, melainkan cahaya nurani.
  4. Menjaga Harta (ḥifẓ al-māl) menuntut kebijakan ekonomi Islam yang berbasis keadilan distribusi, transparansi zakat, dan pemberdayaan masyarakat miskin.
  5. Menjaga Keturunan (ḥifẓ al-nasl) berarti menanamkan nilai kasih dan kesetaraan dalam pendidikan anak, mengajarkan bahwa perbedaan adalah rahmat, bukan ancaman.

Dengan membaca ulang maqāṣid secara kontekstual, hukum Islam menjadi ruang dialog peradaban, bukan medan konflik ideologis.

 

7. Solusi Maqāṣidiyyah untuk Krisis Kekinian

a. Reformasi Intelektual

Kita membutuhkan ijtihad lintas disiplin, tafsir hukum Islam yang berdialog dengan sosiologi, ekonomi, politik, dan psikologi. Seperti dikatakan Jasser Auda (2008), syariah harus dipahami sebagai sistem terbuka (open system) yang mampu beradaptasi dengan kompleksitas zaman. Para ulama dan akademisi perlu menulis, meneliti, dan mengajar dengan orientasi maqāṣidiyyah agar hukum tidak membeku dalam teks, tetapi mengalir dalam konteks.

b. Reformasi Sosial

Kepahlawanan hukum Islam hari ini adalah keberanian untuk berdiri di tengah polarisasi. Membangun dialog lintas iman, menolak politisasi agama, dan mengembangkan moderasi beragama (wasathiyyah) sebagai strategi sosial. Inilah jihad sosial kontemporer — membangun jembatan di atas sungai perpecahan.

c. Reformasi Spiritual

Syariah sejati bukan hanya ketaatan formal, tetapi niat yang suci dan rahmah yang hidup. Menegakkan hukum tanpa cinta sama halnya menegakkan tembok tanpa pondasi. Pahlawan sejati adalah mereka yang mengembalikan hukum kepada niatnya yang murni — demi Tuhan dan kemaslahatan manusia.

 

8. Dari Pahlawan Hukum ke Pahlawan Kemanusiaan

Kita tidak sedang kekurangan hukum, tetapi kekurangan hati. Dunia Islam membutuhkan generasi baru pahlawan bukan yang hanya fasih berdebat tentang halal-haram, tetapi yang mampu menyalakan cahaya kasih di tengah gelapnya kebencian.

Kepahlawanan dalam menegakkan keadilan syariah hari ini bukanlah perkara menegakkan pasal-pasal, melainkan menghidupkan ruh maqāṣid di tengah masyarakat yang terluka oleh ketidakadilan, kemiskinan, dan kebencian.

Menegakkan syariah berarti menegakkan kasih Tuhan di bumi. Sebab, sebagaimana kata Al-Syāṭibī, “Tujuan tertinggi syariah adalah kemaslahatan manusia.”

Dan pahlawan sejati adalah mereka yang memahami, bahwa keadilan tanpa kasih adalah kehampaan, sementara kasih tanpa keadilan hanyalah kelemahan. Kepahlawanan sejati adalah menyatukan keduanya menegakkan keadilan dengan kasih, dan menebar kasih dengan keadilan.

 

Kepahlawanan dalam Menegakkan Keadilan Syariah (Antara Spirit Normatif dan Nilai Kemanusiaan dalam Krisis Sosial Modern)
Admin 10 November 2025
Share post ini
Arsip
Masuk untuk meninggalkan komentar