Pagi ini, saya sedang berdiri di depan kelas, menjelaskan tentang pentingnya kejujuran akademik. Mahasiswa mendengarkan, beberapa mengangguk, beberapa yang lain sibuk mengejar logika di slide presentasi. Lalu sebuah notifikasi muncul: grup EIC Jurnal. Refleks saya membukanya dan seketika mata saya terpaku pada satu foto: tulisan sederhana di buku SBI.
“Editor jurnal maksimal dibayarkan 3.”
Sesaat saya ingin tertawa. Namun seperti banyak hal di negeri ini, apa yang terlihat lucu kadang justru adalah tragedi kecil yang sedang kita normalisasi.
Saya teringat pesan Rektor setiap kali rapat: harapan besar agar jurnal di kampus kami naik kelas; profesional, bereputasi, dan mampu bersaing secara nasional bahkan internasional. Harapan itu baik, bahkan mulia. Namun, di mana ada harapan, di situ seharusnya ada dukungan yang sepadan; bukan pembatasan yang melemahkan. Saya tidak tahu siapa yang punya ide secerdas itu membuat aturan editor hanya 3.
Di grup, salah satu Editor in Chief menulis:
“Intinya mohon disampaikan rasa ketidaknyamanan ini pada saat rapat.”
Ada pula komentar lain yang lebih satir, tetapi sangat jujur:
“Setidaknyamannya kita semua pengelola jurnal, lebih tidak nyaman lagi sosok yang harus berhadapan dengan penguasa anggaran, yang harus memenuhi semua ekspektasi pengelola jurnal.”
Saya tersenyum kecil, senyum getir yang muncul saat humor bersinggungan dengan realitas yang menyebalkan. Ya, seperti itulah yang terjadi.
Mari jujur:
Mengelola jurnal ilmiah bukan sekadar memproses artikel. Ia adalah kerja maraton: editorial meeting, review process, plagiarism screening, revisi bolak-balik, indexing, error OJS tanpa sebab, sistem login yang tiba-tiba ngadat, penulis yang tersinggung karena artikelnya ditolak, dan reviewer yang hilang tanpa jejak seperti hantu digital.
Ada hal lain yang jarang diakui secara formal tetapi sangat menentukan kualitas kerja ini: mengelola jurnal membutuhkan suasana hati yang baik. Karena pekerjaan ini bukan hanya teknis, ia melibatkan komunikasi, penilaian ilmiah, relasi akademik, dan diplomasi intelektual. Bukan pekerjaan yang bisa dilakukan dengan hati kusut atau pikiran yang terganggu kuota anggaran.
Maka pertanyaannya sederhana:
Jika hal remeh-temeh seperti pembayaran editor saja sudah tampak memusingkan, siapa yang nanti mau mengelola jurnal?
Untuk lebih jelasnya, mari kita sebutkan apa saja tugas editor dan mengapa pekerjaan ini tidak bisa dibebankan hanya pada satu, dua, atau tiga orang:
- Editor-in-Chief (EIC): memastikan arah kebijakan editorial sesuai standar nasional dan internasional, mengoordinasi reviewer, keputusan akhir terhadap artikel, komunikasi resmi dengan institusi dan indexing.
- Managing Editor: memastikan alur penerbitan berjalan sesuai jadwal, memantau artikel mulai submission hingga publishing.
- Section Editor: memproses artikel sesuai bidang, memilih reviewer yang relevan, memastikan proses editorial objektif.
- Technical Editor: memastikan format ilmiah, referensi, sitasi, style guide, metadata, DOI, hingga kelayakan tampilan final.
- Language/Copy Editor: memastikan tata bahasa, akademik style, konsistensi, dan keterbacaan, karena jurnal bukan hanya ilmiah—tetapi juga harus komunikatif dan etis secara bahasa.
Itulah mengapa standar minimal lima editor bukan sekadar formalitas, melainkan kebutuhan sistem kerja editorial yang manusiawi dan profesional. Bila jumlah itu dipotong hanya untuk efisiensi anggaran, maka yang terjadi bukan efektivitas, melainkan kelelahan kolektif yang berujung penurunan kualitas.
Dan lebih buruk lagi: normalisasi bahwa pekerjaan ilmiah selalu bisa ditambal oleh satu atau dua orang yang “ikhlas”.
Sekarang mari daftar beberapa ironi yang diam-diam sudah dianggap wajar:
- Jurnal dianggap sebagai beban. Bukan kontribusi ilmiah. Bukan wajah institusi.
- Prosedur pencairan anggaran ribet—padahal pengelola seharusnya fokus pada kualitas publikasi, bukan safari ampra.
- Jika jurnal terbit lebih awal dan anggaran diajukan lebih cepat, dianggap rekayasa. Seolah kinerja baik adalah sesuatu yang mencurigakan.
- Minimal lima editor, idealnya harusnya ditambah editor bahasa. Namun, di lapangan editor merangkap semuanya—dengan honorarium yang lebih kecil dibanding memeriksa tugas mahasiswa UT. Jadi jangan heran kalau pengelola jurnal memilih pekerjaan lain. Dan kampus kita kehilangan orang-orang yang mengabdikan diri ke jurnal.
Ironis?
Tentu.
Tetapi yang lebih ironis adalah ketika standar reputasi dipatok internasional, sementara dukungan administratif dipatok hemat-seadanya.
Seolah kualitas ilmiah bisa tumbuh dengan pola makan ekonomis.
Pertanyaannya sederhana tetapi menyakitkan:
Bagaimana kita berharap tumbuhnya budaya riset yang sehat jika ekosistem yang menopangnya dihargai serendah ini? Bagaimana kita berbicara tentang indexing global bila editor "tulang punggung proses ilmiah" dipandang sekadar pos anggaran yang harus ditekan?
Kita sering bangga berkata publikasi adalah ruh akademik.
Namun, rupanya ruh itu masih harus bernegosiasi dengan birokrasi.
Pada akhirnya, ini bukan hanya soal angka "tiga" di kebijakan pembayaran. Tidak.
Ini soal penghormatan terhadap ilmu, dan terhadap manusia yang menjaganya.
Karena jurnal ilmiah tidak pernah berdiri hanya di atas tinta, server, atau template OJS—melainkan di atas komitmen, keahlian, waktu keluarga yang dikorbankan, dan harga diri akademik yang semakin hari terasa diuji.
Saya berharap ini bisa menjadi renungan
Bahwa investasi pada ilmu bukan pemborosan—melainkan landasan masa depan.
Jika kampus ingin naik kelas, maka orang-orang yang menopangnya pun harus diberi ruang berkembang; secara profesional, manusiawi, dan layak. Sebab ilmu tidak akan berkembang bila mereka yang menjaganya terus dipaksa bertahan dalam mode survival.
Dan jika kita masih percaya bahwa perguruan tinggi adalah tempat peradaban bertumpu, maka hanya ada satu pilihan:
Hargai mereka yang menahan diri untuk setia mengelola jurnal. Jika dianggap beban, bubarkan saja jurnalnya atau ganti pengelolanya dengan mereka yang menganggap pembayaran pengelola jurnal sebagai beban. Silakan!
Ilmu yang Dipaksa Bertahan dengan Napas Pendek