Setiap 25 November, kita merayakan Hari Guru Nasional. Di sekolah, ruang publik, hingga media sosial, ucapan terima kasih mengalir untuk para pendidik. Namun di balik kata “selamat Hari Guru”, ada pertanyaan yang lebih penting dan sering kita hindari: sudahkah negara memperlakukan guru sebagai profesi strategis pembangunan bangsa, bukan sekadar simbol pendidikan?
Dalam perspektif hukum ekonomi, guru bukan hanya sosok yang berdiri di depan kelas. Mereka adalah human capital multiplier, penentu kualitas sumber daya manusia, produktivitas nasional, dan arah masa depan ekonomi. Gary Becker pernah menegaskan, pendidikan adalah human capital investment, investasi jangka panjang yang menentukan daya saing negara. Artinya, ketika negara memperkuat guru, sesungguhnya ia sedang memperkuat fondasi ekonominya sendiri.
Konstitusi Indonesia sebenarnya sudah memberi ruang untuk itu. UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 sampai 5 mewajibkan negara menyelenggarakan pendidikan nasional sekaligus memastikan alokasi 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan sebagai mandat, bukan pilihan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen hadir untuk menjamin kesejahteraan, perlindungan hukum, dan pengembangan profesi. Namun realitas berkata berbeda. Masih banyak guru yang hidup dalam ketidakpastian, menjalani status yang ambigu, dan menerima penghargaan yang jauh dari layak.
Pertanyaan sederhana tetapi menohok nurani adalah ini:
Jika guru adalah penentu masa depan bangsa, mengapa sebagian dari mereka masih harus memperjuangkan hak dasar seperti rakyat jelata, bukan dihormati sebagai pilar peradaban?
Buktinya terlihat jelas. Tunjangan profesi sering terlambat cair. Guru honorer bertahun-tahun menerima gaji jauh di bawah standar. Akses pelatihan teknologi masih timpang antara desa dan kota. Sementara itu, beban administrasi yang rumit membuat waktu mengajar, yang seharusnya inti profesi, justru terpinggirkan. Padahal di era ekonomi digital, guru memegang kunci transformasi. Tanpa guru yang melek teknologi, sekolah hanya menjadi bangunan tanpa masa depan.
Dalam konteks Pasal 33 UUD 1945 tentang ekonomi kerakyatan, kesejahteraan guru bukan sekadar urusan teknis birokrasi, tetapi bagian dari strategi pembangunan nasional. Guru membentuk generasi produktif, berintegritas, dan beretika. Mereka menanamkan nilai kejujuran, siri’, sipakatau, tanggung jawab, dan anti-korupsi. Nilai-nilai ini tidak bisa diberikan oleh mesin, aplikasi, atau kurikulum tanpa jiwa.
Karena itu, memperjuangkan hak dan kesejahteraan guru adalah kewajiban moral sekaligus konstitusional. Guru yang sejahtera dan terlindungi secara hukum dapat mengajar dengan hati yang utuh, tanpa resah dan tanpa harus bekerja sambilan hanya untuk bertahan hidup. Dalam kondisi itu, mereka lebih leluasa berinovasi, bereksperimen, dan menjawab tantangan zaman. Guru tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga denyut ekonomi lokal, katalis sosial, dan penggerak peradaban.
Maka, peringatan Hari Guru tidak boleh berhenti pada baliho, slogan manis, atau seremoni tahunan. Penghormatan paling tulus adalah memastikan kebijakan yang berpihak, sistem yang adil, dan perlindungan hukum yang nyata. Jika Indonesia ingin melompat menjadi bangsa berdaya saing, tidak ada strategi yang lebih kuat daripada memastikan guru dihormati secara sosial, ekonomi, dan hukum.
Sejarah selalu membisikkan satu kebenaran sederhana:
Bangsa besar tidak lahir dari guru yang dibiarkan berjuang sendiri,
tetapi dari guru yang dihargai.
Guru Sebagai Fondasi Keadilan Ekonomi dan Regulasi Pembangunan Manusia